Pages

Seharusnya

Tuesday, 20 December 2016

Akhirnya saya menulis ini.
Setengah mati menahannya berkeliaran di otak, akhirnya saya benar-benar menuliskan ini.
Fase itu akhirnya datang. Fase dimana yang abu terasa lebih jelas. Fase dimana saya tahu posisi saya.
Seharusnya saya senang. Akhirnya saya tidak perlu berdebat dengan diri sendiri lagi. Tidak perlu memilih antara tinggal atau pergi. Sekarang saya tahu dengan jelas mana yang akan saya pilih.
Momen saat saya merasa lega mengetahui semuanya namun juga sangat ingin menangis saat tahu jawabannya.
I’m just a friend he said.
Seharusnya tidak ada yang salah dengan kalimat itu. Justru itu jawaban yang selalu saya tanyakan sejak lama. Sialnya, diri saya merasa sedih. Pada saat akhirnya saya mengetahui jawaban itu, saya merasa sangat sedih.
Saya tidak ingin berlarut. Manusia datang dan pergi bukan? Kenangan pun begitu.
Seharusnya begitu.
Seharusnya.
Seharusnya.
Bahkan seharusnya saya tidak menulis ini. Tidak akan ada yang berubah. Tidak pula orang-orang akan mengerti dengan apa yang saya tulis. Namun itu seharusnya.
Karena saya yang sekarang memilih segala sesuatu yang berlawanan dengan itu. Saya tidak tersenyum. Saya menangis. Saya merasa bodoh. Saya tidak senang. Saya terlarut. Saya menulis ini.
See, pada akhirnya saya memang seperti ini. Melewati batas yang seharusnya dijaga, bahkan seharusnya dihindari. Mungkin tulisan ini tak akan pernah ada jika hari itu saya tidak menuruti sesuatu disebut kata hati. Mungkin semuanya akan baik-baik saja, jika bukan kepada dia saya berlari. Sayangnya semua sudah terjadi dan saya tidak baik-baik saja. Tidak untuk sekarang.


Menolong: Manifestasi Rasa Syukur

Saturday, 19 November 2016

Setiap manusia pasti memiliki ego. Saya juga salah satunya. Ego itu tidak mungkin hilang namun menurut saya ego bisa diredam dan diselaraskan. Perihal ego manusia, mari kita bertanya sesuatu pada diri kita. Seberapa sering kita menolong orang dengan anggapan bahwa itu adalah tabungan di masa yang akan datang? 

Sering kali kita diajari untuk menolong sesama tanpa pamrih dan imbalan. Mereka mengajari agar kita menolong karena mampu. Namun tak lepas juga ada sebuah iming-iming yang turut diterapkan pada kita sejak kecil. 

“Bantulah dia, tolonglah dia. Barangkali nanti saat kamu membutuhkan pertolongan, dia akan membantu.” 
Sebagian besar dari kita diajarkan dan menerapkan pemikiran di atas. Saya dulu berpikir, lantas untuk apa diajarkan menolong dengan ikhlas jika pada akhirnya berharap untuk kembali ditolong? Tanpa pamrih dan imbalan itu seolah omong kosong belaka. Kebaikan yang diajarkan seolah kontradiktif. 

Rasa yang tidak tenang menghampiri saya cukup lama. Saya bertanya-tanya lantas untuk apa saya menolong? Saya tidak ingin imbalan dan saya tidak ingin menolong agar ditolong. Saat itu saya tidak tahu tujuan apa yang ingin saya capai saat menolong seseorang. Namun apakah lantas saya berhenti menolong? Jawabannya tidak. Saya pun tidak tenang saat saya mampu tetapi tidak menolong orang lain. Ada perasaan senang saat membantu orang lain dan mengoreskan senyuman di wajahnya. 

Entah bagaimana prosesnya (saya tidak begitu ingat rincinya), sebuah pemikiran itu datang. Saya mengingat kembali bahwa seseorang di agama saya selalu diajarkan untuk bersyukur. Berdoa bukan hanya untuk meminta tapi juga berterima kasih kepada yang Maha Kuasa. Saya mencoba memahaminya dengan baik. Rasa syukur akan terasa tidak bermakna apabila hanya terucap dari bibir atas perintah logika dan bukan karena hati yang merasa lega. Rasa syukur itu perlu diimplementasikan dan menurut saya menolong adalah sebuah tindak nyata dari rasa syukur kita kepada Sang Pencipta. Kepandaian, kekuatan, keahlian khusus, harta, dan waktu yang dimiliki seseorang akan terasa disyukuri saat dibagi.

Menerapkan prinsip menolong bukan untuk ditolong menjadi penting. Kenapa? Karena ketika seseorang berharap orang yang ditolong mampu menolongnya dikemudian hari namun berakhir tidak sesuai ekspektasi, dirinya sendiri yang akan merugi. Dia akan mengungkit kebaikannya, dia akan menjelekkan orang itu karena tidak tahu balas budi, dia akan merasa dikhianati dan hal-hal lain yang mungkin terlintas dipikiran seseorang saat kecewa. Sayang sekali jika kita masih menolong seseorang karena ingin dibantu kemudian hari. 

Ya, saya bukan ahli ataupun pemberi motivasi. Saya mungkin terkesan menggurui tetapi saya ingin mengajak siapapun yang membaca ini untuk mengubah sudut pandang yang mungkin terlalu kuat ditanamkan. Katanya (iya bukan kata saya), kalau hati kita ikhlas niscaya hati kita akan lebih tenang. So, mari bersama merasakan nikmatnya bersyukur melalui uluran tangan kepada yang lain. Mari mencari sedikit ketenangan di antara hiruk pikuknya dunia melalui menolong. Semoga siapapun yang menolong dengan ikhlas (benar-benar ikhlas ya :p) mendapatkan ketenangan yang lebih banyak di hatinya!

Agar Tak Mati

Thursday, 27 October 2016

Taken by aroktavia
Temaram lampu mungkin menyembunyikan. Ada kesendirian yang tak dipahami hadir. Ada riuh yang tak didengar oleh orang lain. Ada sakit tertahan yang tak bisa dirasa orang.

Sinar matahari mungkin menyebalkan. Ramai yang tak peduli kepedihan. Peluh hadir disusul baunya yang menyebalkan. Hiruk pikuk yang lebih ramai dari yang kau bayangkan.

Mungkin, mungkin memang bersembunyi memberi ketenangan. Menyimpan semua seolah senang. Namun bagiku (dan seharusnya bagimu) tidak.

Adalah hadir dikeramaian yang aku tahu akan kau lakukan. Sudah seharusnya memang kau lakukan. Sengatan matahari itu tak akan membuat lukamu padam. Biarkan dia abadi di sana dan berjalanlah bersamanya.

Adalah tersenyum, hal yang ingin kulihat darimu. Diiringi keberanian yang mampu mengalahkan taifun. Dibawa jejak kaki yang melaju meski luka menyayat perih.

Untuk sekali ini saja, dengarkan aku.

Berjalanlah sebagaimana mestinya.
Berjalanlah sebagaimana engkau biasanya.
Berjalan dan berjalanlah.
Dan jika itu terasa sulit, merangkak agar tidak mati dirimu dimakan luka.
Bergerak meski semua terasa gelap dan tidak nyata.
Bergerak agar kau tak mati.
Bergerak untuk hati yang mendoakanmu di sini.

Bianglala, Pendar Lampu, dan Dia

Monday, 10 October 2016

Taken by aroktavia
Momentum itu hadir hanya sekali tanpa bisa diulang. Sebagaimana menyaksikan langit senja di atas bianglala. Satu putaran, warna biru langit itu mulai berubah. Dua putaran, semburat oranye itu tampak malu-malu memunculkan warnanya di tengah keramaian. Tiga putaran, semburat oranye itu kembali sembunyi memilih untuk pulang bersama kesunyian. Empat putaran, kekosongan itu hadir meninggalkan momentum yang tercipta. Kekosongan yang hadir setelahnya tinggal menjadi kenangan.

Momentum hadir berulang kali dalam hidup dan pergi juga berulang kali. Tidak ada yang abadi. Tidak ada yang pasti dan tidak ada yang konstan. Bianglala itu terus berputar. Keindahan diperolah dari pergerakannya. Bukan diamnya yang sepi. 

Katanya, bianglala lebih cocok dinikmati menjelang senja. Keindahan akan lebih terasa katanya. Lalu aku mencobanya. Menaiki bianglala saat senja. Sayang, bukan semburat oranye yang membuatku terpana kala itu. Melainkan pendar lampu yang hadir pada momentum itu.

Taken by aroktavia
Cahaya lampu dari perumahan, gedung-gedung, maupun jalanan menjadi hal biasa yang hadir setiap hari. Mungkin menjadi hal biasa yang terlewatkan. Mungkin juga menjadi hal tak penting karena terlalu sering hadir. Namun, pada momen tertentu, cahaya yang berpendar dari lampu itu memberikan sihir yang ajaib, yang mungkin menyentuh dan menenangkan hati.

Aku pun percaya, seperti itu pula lah manusia berinteraksi. Pada momen tertentu seseorang akan terasa spesial. Hadir bagai pendar lampu yang temaram di kegelapan. Mengubah yang tesingkirkan menjadi punya tempat spesial. Sebagaimana momentum yang tercipta saat menaiki bianglala dan kenangan yang melekat setelahnya.


Minggu Sendu

Sunday, 9 October 2016

Taken by aroktavia

Kepala saya sakit dalam artian kata sebenarnya. Suhu tubuh saya meninggi. Hidung saya tersumbat. Ini adalah hari ke delapan kondisi tubuh saya menurun dan tidak kunjung membaik.  Bukan hanya lelah fisik sepertinya tapi pikiran saya pun ikut lelah.

Belum sebulan resmi menjadi sarjana, saya sudah dirongrongi pemikiran kapan saya bekerja, kapan saya berpenghasilan sendiri, kapan saya tidak merepotkan kedua kakak saya, kapan saya benar-benar mandiri dan pertanyaan pertanyaan lainnya. Belum resmi sebulan tapi beban itu terasa berat ditambah pandangan orang yang menilai saya tidak berusaha dan terlalu diam.

Saya berpikir setiap hari. Saya menyusun rencana setiap hari. Apakah perlu saya bercerita pada dunia akan setiap detail rencana saya? Tentu saja tidak. Sejak dulu saya sangat malas bercerita rencana yang saya susun kepada siapapun termasuk kepada keluarga saya. Salah satu alasan saya tidak menceritakannya karena saya khawatir rencana itu tidak berjalan dan justru akan menjadi penilaian buruk bagi saya. Belum lagi manusia-manusia yang selalu berpikir paling benar, ketika saya bercerita rencana hidup saya muncullah komentar yang kadang terkesan sangat sok tahu akan rencana itu. Ya, dan saya pikir tidak ada salahnya menyimpan rencana masa depan untuk diri sendiri.

Hari Minggu ini, sebuah panggilan masuk dari Ibu membuat saya (akhirnya) bercerita dengan detail bagaimana rencana yang saya miliki kepada beliau. Saya pikir beliau berhak tahu secara detail. Setidaknya untuk menghindari kekhawatiran beliau yang tidak bisa menemani, menjaga dan mengurus saya selama ini.

Panggilan suara pagi ini terasa sendu. Entah karena saya dan Ibu sama-sama sedang sakit, entah karena cuaca yang dingin, entah karena hormon saya sedang tidak stabil, entah karena saya sedang rindu, ataupun entah karena saya akhirnya butuh menangis. Tangisan itu menyedihkan tapi menyembuhkan secara bersamaan. Tangisan pagi ini membuat saya sadar ada seseorang yang selalu mendoakan saya, mendukung saya dan percaya bahwa saya mampu. Ketika beberapa orang mengernyitkan dahi saat mendengar keinginan dan cita-cita saya, Ibu dengan bangga berkata
"Kamu itu perempuan tapi punya cita-cita yang tinggi. Mamah selalu mendoakan semoga semuanya lancar."

Kalimat itu merangkum semuanya. Rasa bangga, kecemasan dan juga harapan. Saya tahu jalanan itu terjal dan jalanan itu gelap tapi setidaknya saya masih hidup dan punya akal untuk menghadapinya.  Ya, semoga saya bisa menghadapinya.

Bahagia

Tuesday, 27 September 2016

I owe this picture here 

Apa yang membuatmu tersenyum setiap harinya?

Apa pula yang membuat hatimu berdesir tenang?

Semilir angin menjadi sebuah hal favorit yang bisa aku nikmati setiap hari. Halus dan menenangkan. Sesederhana sapaan angin itulah sebuah senyum bisa tergurat. Seharusnya semudah itu untuk tersenyum, namun faktanya manusia terutama mereka yang beranjak dewasa seolah mencari sumber kebahagian lain yang lebih rumit.

Tidak banyak pula yang berpikir dan meyakini bahwa kebahagiaan yang hakiki itu datang dari ketenangan diri sendiri. Bahagia memang tidak melulu berbentuk fisik. Bahagia memang tidak melulu tentang orang. Di antara mereka, aku pun turut meyakini kebahagian kita ditentukan oleh diri kita sendiri bukan orang lain.

Namun, pernahkah kau merasa sangat tenang dan bahagia saat bertemu dengan seseorang? Merasa bahagia ketika sebuah kalimat sederhana menyapamu? Merasa bahagia saat orang itu bahagia dan tidak kesulitan? Katakan aku gila, tapi sumber kebahagiaan itu menjelma menjadi sosok manusia dan benar adanya. Sosok nyata yang terasa dekat dan tak terjangkau dalam bersamaan. 

Jika setiap harinya manusia masih bertanya untuk apa hidup, aku akan yakinkan bahwa setiap nafas yang mungkin dianggap tak bermakna akan menjadi sumber kebahagiaan bagi orang lain. Karena terkadang kita tidak tahu siapa yang turut tersenyum ketika kita bahagia. Ya, hidup memang tidak sesederhana itu, seringkali lebih rumit malahan, tapi setidaknya mari tidak menambah rumit pada sesuatu yang sudah rumit.

Teruntuk seseorang yang membaca ini, ada banyak kata dan doa yang sulit dituliskan. Tidak mungkin semuanya tercurah dalam sebuah tulisan dalam blog ini. Ada sebuah rasa syukur dan harapan baru seiring dengan perputaran bumi dan pergerakan jarum jam pada hari yang baru, juga angka yang berganti hari ini. Hidup memang tidak mudah. Raga yang akan mati dan jiwa yang selalu hidup itu akan terseret untuk terus menyesuaikan. Penyesuaian itu akan meninggalkan luka atau mungkin justru senyum manis yang sangat memabukkan. Hari ini maupun tahun-tahun berikutnya, semua akan terus bergerak dan berubah. Satu-satunya cara untuk tetap hidup adalah mengikuti alur perubahan tanpa melupakan kebahagiaan dan ketenangan dalam diri. Tersenyum dan berbahagialah!

Teruntuk seseorang yang membaca ini, selamat ulang tahun!



Resmi... Sarjana!

Wednesday, 21 September 2016

Manusia memang sangat identik dengan ketidaksabaran. Terburu-buru akan hal yang memang belum milikinya. Padahal langkahnya bisa dihitung. Beberapa bulan yang lalu, saya menjadi manusia yang sangat tidak sabar. Saya juga menjadi manusia yang tidak tahu rasa bersyukur dan iri dengan apa yang orang lain capai.

Melihat satu per satu teman satu angkatan lulus membuat saya sedikit bersedih. Setiap harinya saya menanti kapan giliran saya menyandang gelar itu? Kapan saya akan tersenyum lega seperti teman-teman saya? Perasaan campur aduk selalu menghampiri saya ketika bertemu mereka yang telah lulus.

Saya melupakan beberapa hal yang cukup penting kala itu. Hidup manusia itu berbeda. Jalur yang dipilih pun akan berbeda. Bahkan, saat jalur yang dipilih pun sama, cara untuk melalui jalur tersebut akan berbeda setiap oragnya. Begitu juga dengan proses yang terjadi selama masa perkuliahan terutama saat menjalani tugas akhir alias skripsi.

Saya merasa tertinggal, merasa tidak mampu, dan merasa tidak memiliki kesempatan baik. Dulu, saat ada teman saya yang sidang akhir saya selalu membandingkan diri saya dengan teman itu. Berpikir dan membayangkan mengapa saya belum bisa mencapai titik yang dia tempati sekarang. Namun sebuah fakta menampar saya dengan keras, bahwa hal terbesar yang harus saya kalahkan adalah diri saya. Mengalahkan semua pemikiran buruk yang selalu melintas di diri saya. Kekhawatiran, ketidaksabaran, ketakutan dan kemalasan. Itulah musuh terbesar yang seharusnya memang saya lawan.

Perlan namun pasti. Akhirnya, hari Selasa kemarin saya berhasil menambahkan satu gelar di belakang nama saya. Alhamdulillah, saya sudah resmi menjadi seorang sarjana. Sudah resmi mempunyai beban yang lebih berat. Sejauh ini, mendapatkan gelar sarjana menjadi sukses kecil yang amat sangat menyenangkan. Semoga ini menjadi awal yang baik ke depannya.


p.s. Numpang promosi instagram saya sekalian pamer foto selepas sidang ;)


A photo posted by Ade Risti Oktavia (@aroktavia) on






Diperhatikan

Sunday, 31 July 2016

Setiap harinya di lingkungan pertemanan, saya akan mengambil porsi menjadi sosok yang lebih sering memperhatikan dan mengamati kebiasaan setiap orang. Saya hafal setiap cerita yang teman saya ceritakan, saya tahu kebiasaan mereka, saya tahu bagaimana mereka berekspresi dan biasanya saya bisa menebak apa yang teman saya pikirkan dan inginkan.

Bukan hanya di lingkaran terdalam teman saya, bahkan dengan teman sekolah atau kampus pun begitu. Saya akan lebih hafal wajah dan nama mereka serta kerjadian kapan kami bertemu sedangkan mereka hanya tau saya sekilas atau bahkan tidak tahu sama sekali. Memang tidak selalu, tapi seringkali saya yang punya porsi lebih "memperhatikan",

Kebiasaan itulah yang sering kali membuat saya berpikir, "It's okay, gak semua orang bakalan tau soal lo kan. Semua orang gak akan memperhatikan lo sampe segitu." Pemikiran itu membuat saya terbiasa tidak terlihat. Jadinya ketika ada yang benar-benar melihat saya, saya akan dengan mudah menjadi luluh.

Saya tipikal yang mudah bercerita dengan teman dekat saya. Sejujurnya saya tidak berekspektasi mereka harus mengingat setiap detail yang saya ceritakan. Biasanya mereka akan lupa atau bingung. Misalnya saya gak suka kacang, teman saya ada yang lupa atau gak hafal dengan kebiasaan saya itu ya tidak apa-apa. Kalau mereka lupa ya wajar, nanti saya ingatkan lagi. Sesederhana itu bagi saya.

Sesuatu yang mengejutkan (lebay sih) terjadi beberapa hari lalu. Seorang teman membuat saya sangat diperhatikan. Dia ingat saya tidak suka dan tidak biasa menunggu kendaraan umum pada lokasi tertentu di sekitar kampus apalagi ketika malam hari. Dia juga bersikeras mengantarkan saya pada lokasi yang lebih "baik" untuk menunggu kendaraan umum. Walaupun alasan yang dia ungkapkan hanya karena dia gentle, saya tetap senang dia mengingat kebiasaan saya. Saya merasa diperhatikan :')

p.s : Kalau orangnya baca, iya loh saya seneng diperhatikan meski sebenernya itu agak drama dan too much. Makasih banyak ya sudah mengingat kebiasaan saya.


Isi Kepalaku Terlalu Riuh

Friday, 15 July 2016

Isi kepalaku terlalu riuh
Tentang ini dan itu
Juga tentang aku dan kamu
Tentang kehidupan
Dan kau juga di dalamnya

Bagiku isi kepala ini terlalu riuh
Kotaknya yang terlalu sempit
Ruangnya yang terbagi
Sulit bagiku mencari ketenangan
Meski kau ada di dalamnya

Dan tawa itu tak bisa lebih kencang
Senyum itu tak bisa menenangkan
Isi kepalaku terlalu riuh
Sangat riuh denganmu di dalamnya

Artwork by David Hansen

Harapan dalam Gelas Kosong

Thursday, 23 June 2016

Taken by Me

Gelas gelas itu tersusun begitu rapih
Menunggu untuk dipilih dan pergi dari sebuah rasa yang dinamakan penantian
Gelas-gelas itu selalu ada dan tetap menunggu dengan sama
Nyanyian penuh kesepian tak pernah lupa mengiringi mereka
Ada harapan muncul dari setetes air yang menghampiri gelas itu
Harapan tuk penghapusan kesendirian
Harapan agar kekosongan tak lagi menghampiri
Mereka pergi, di ambil dan digunakan
Mereka bahagia akan kehidupan baru yang ada
Rasa kesepian hilang terhapuskan air bening yang mengalir
Harapan itu akan selalu ada kata mereka
Detik selanjutnya, gelas yang penuh itu merasa tertipu
Air yang ada itu hilang, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain
Harapan yang ada hanyalah bualan
Nyanyian kesepian itu terdengar lagi, lagi dan lagi

Saya juga Perempuan

Sunday, 5 June 2016

I owe this picture here
Banyak orang mengenal saya sebagai seseorang yang cuek akan penampilan. Memang benar jika saya cukup cuek akan masalah penampilan. Bukan hanya gaya berpakain saja, saya juga dikenal sebagai orang yang grasak grusuk dan tidak sabaran. Bagi teman-teman dan orang di sekitar saya, hal-hal yang berbau perempuan akan di nilai kurang cocok dengan saya.

Padahal jauh di dalam diri saya, saya sangat suka sesuatu yang identik dengan hal-hal cantik yang bisa memanjakan mata. Saya suka baca blog beautyblogger, nonton vlog tentang make up, dan mengikuti berbagai update terkait hal-hal "cantik". Hanya saja image saya itu tidak berbanding lurus.
Pernah suatu hari saya datang ke kampus memakai satu-satunya lipstick yang saya punya. Fyi, lipstick yang saya pakai itu warnanya sangat nyaru dengan warna bibir saya jadi bukan warna yang ngejreng. Herannya, teman saya sampai bingung saya pakai lipstick. Dia terus menerus menggoda dan menanyakan ada gerangan apa saya menggunakan lipstick. 

Sebenarnya saya cuma pengen pake lipstick. Udah itu aja. Karena digoda terus besok-besoknya saya gak pake lipstick lagi ke kampus. Baru belakangan ini saja kadang pakai lipstick lagi itu pun selang seling kadang pakai kadang tidak. 

Bukan hanya itu, saya pernah lagi ngorbrol sama teman ngebahas produk conditioner rambut yang menurut saya bagus sekali. Banyak penggunaan yang menilai saya seperti saya. Ketika saya bercerita tentang produk itu, teman saya justru menimpali "Loh Aro pake conditioner juga?". Saya langsung kaget, segitu kuat ya image saya yang cuek dan tidak suka merawat diri. Walau memang benar saya belum serajin itu merawat diri juga belum pakai dan punya make up yang macam-macam tapi bukan berarti saya tidak memperhatikan hal berbau kecantikan.

Image itulah yang membuat saya malu dan kagok untuk menggunakan make up dalam keseharian saya. Kadang dibilang dewasa, udah gede, kesambet apa. dan pernyataan heran lain serta menggoda dari teman-teman saya.  Meski begini, saya juga perempuan yang ingin terlihat cantik setidaknya bagi saya sendiri.

Omong-omong selamat menjalankan ibadah puasa tahun ini. Mohon maaf atas kesalahan saya dalam tulis menulis di blog ini. Semoa kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik :)

Aku Lelah Ibu

Tuesday, 31 May 2016

Aku lelah Ibu...
Berjalan sendirian di malam hari yang gelap
Menerka jalan mana yang harus aku pilih
Bersama rasa takut akan terjerembab pada kegagalan
Menjadi buta untuk sesaat

Aku lelah Ibu...
Kembali pulang dengan senyuman manis
Mengalahkan manisnya teh manis yang sering kau buatkan
Mengaburkan pahitnya teh yang kau bilang asli itu

Aku lelah Ibu...
Menangis sendiri di pojok kamar
Meredam suara jeritan pilu
Menyiapkan sendok dingin agar mata sembab ini tak kau lihat

Aku lelah Ibu...
Biarkan aku kembali pada diriku yang berusia sepuluh tahun
Dekap aku penuh kehangatan saat tangis tak dapat di tahan
Biarkan aku kembali pada diriku tanpa kepalsuan
Izinkan aku terlelap dalam pangkuanmu Ibu
Karena aku lelah menjadi diriku saat ini

Aku lelah menjadi dirku yang dewasa

Her Bouquet

Sunday, 22 May 2016

 pic source : tumblr

Tangan kecil itu terus menggenggam kuat sebuah buket bunga matahari. Kaki rampingnya terus menerus berlari. Berusaha mencapai kecepatan tertingginya. Bibir yang tak lupa dipoles gincu itu terus merapalkan mantra, yang sebenarnya dia ragu akan terwujud.

“Jangan telat, jangan telat, jangan telat,” mantra itu terus menerus diucapkan. “Lebih cepat, lebih cepat, lebih cepat.”

Dia harus bisa berlari lebih cepat. Tinggal lantai ini dan beberapa anak tangga lagi dia bisa mencapainya. Menemui seseorang yang sangat spesial baginya dan hadir saat momen penting orang itu.

Gadis itu merutuki dirinya sendiri untuk berlari di siang hari yang panas. Seandainya dia punya kendaraan seandainya dia masih punya cukup uang untuk menaiki ojek, dia tidak akan bermandikan keringat di siang hari seperti ini. Sayangnya gedung fakultas kedokteran memang cukup jauh dari gedung dia menuntut ilmu. 

Tak terasa, mantra itu benar adanya. Dia sampai di lantai 4 gedung kedokteran. Mulai mencari dimana ruang sidang itu berada. Dia mulai melihat segerombolan orang, mahasiswa lebih tepatnya, berpakaian rapih dan menarik. Ia menarik nafas panjang seraya merasakan peluh menetes di berbagai bagian tubuhnya. Rasa-rasanya gadis itu menjadi ragu untuk bertemu sang pujaan hati. Badanku pasti bau, pikirnya. 

Ia melihat lagi apa yang dibawanya sejak tadi, sebuah buket bunga matahari. Untung saja penampilan buket itu tidak sehancur dirinya. Ingatannya kembali pada hari itu dimana dia menghabiskan waktu malam bersama orang yang sangat disayanginya.

“Dinar, kosongkan waktumu minggu depan ya,” kata laki-laki itu.

Dinar memandang lelaki di sampingnya dengan penuh kebingungan, “Untuk apa?”

“Minggu depan, aku akan segera mendapatkan gelar sarjana kedokteran.”

“Kamu sidang?” Dinar tak kuasa menahan rasa bahagianya.

“Doain aja ya, jangan lupa kalau dateng bawa balon, bunga atau apapun itu. Kamu datang aja aku udah senang kok.”

Laki-laki itu tersenyum seraya dibalas Dinar dengan senyuman yang tak kalah sumringah.

“Siap bos! Aku pasti datang,” balasnya kemudian.

Dinar tahu dirinya sudah berjanji untuk datang. Dia harus bertemu dengan lelaki itu. Dia harus memastikan dirinya hadir di momen penting orang yang dia sayangi. Dia ingin dirinya selalu ada dan dianggap ada.

Nafas panjang dihelanya. Dia mencoba menenangkan diri. Mencoba mengontrol rasa tidak percaya dirinya. Kalau dipikir-pikir siap yang tidak menciut membandingkan penampilan dirinya yang (amat) berantakan dengan mahasiswi kedokteran yang rapih dan wangi. 

Ayolah Dinar, kamu udah jauh-jauh kesini masa mau mundur gitu aja. Pikirnya.

Langkah kaki Dinar berputar. Dia tak bisa tampil seperti ini. Terlalu berantakan, terlalu jelek dan terlalu bau. Dia mencoba menanyai beberapa orang yang dilewatinya.

“Maaf Kak, toilet ada dimana ya?” tanyanya sopan.

“Kamu jalan sampai ujung terus nanti belok kiri.”

“Makasih kak,” kalimat itu menjadi penutup bagi Dinar. Dia butuh toilet sekarang!

Dinar mematut dirinya di depan cermin yang sangat luas. Ia memperhatikan sekeliling kamar mandi yang sepi. Kamar mandi sangat bersih dan harum untuk ukuran toilet kampus. Mungkin karena ini gedung fakultas kedokteran yang dibincangkan “mahal” itu, sangat wajar menemui fasilitas yang seimbang. 

Puas mengamati, Dinar kembali fokus kepada dirinya dan alasan dia ada di gedung ini, gedung yang jauh dibandingkan dengan gedung tempatnya menuntut ilmu. Ia tak boleh menyia-nyiakan waktunya. Hanya selangkah lagi dan dia hanya perlu memberikan buket bunga di tangannya pada lelaki itu.
Seharusnya ini mudah. Seharusnya ini bisa Dinar lakukan dengan singkat tanpa banyak berpikir. Seharusnya memang seperti itu, seandainya saja Dinar tidak pernah berharap lebih pada lelaki itu, teman sekaligus orang yang sangat dia sayangi.

“Buat apa sih? Mau bikin dia terkesan?” tanya gadis itu pada sosok yang ada di dalam sana, pantulan dirinya. “Sadar Dinar, sadar, dimana posisi kamu seharusnya!”

Dinar selalu sadar dimana posisinya berada. Seseorang yang dianggap tidak lebih dari sekedar teman oleh orang yang dicintainya. Seseorang yang harus menahan diri pada batasan yang tidak pernah jelas dan kabur adanya.

I’ll give it as a friend. Just a friend.

Ia melangkahkan kakinya dengan mantap keluar dari kamar mandi itu. Peluh yang sedari tadi membanjiri mulai menguap. Debaran jantungnya tidak sekencang saat ia sampai di gedung ini. Ia mulai bisa mengontrol dirinya. Ya, dia harus bisa mengontrol dirinya.

Dinar memastikan waktu, dia yakin lelaki itu seharusnya sudah keluar dari ruang sidang sejak lima belas menit yang lalu. Perlahan, langkah demi langkah, Dinar bisa melihat kerumunan orang yang jauh lebih ramai dari tadi. Lelaki jangkung yang dipujanya ada di sana. Bersama dengan teman-temannya yang lain.

Satu langkah Dinar berjalan.

Lelaki itu dipasangkan sebuah mahkota yang terbuat dari plastik. Sudah biasa adanya tradisi – dari sesama mahasiswa- penobatan sebagai raja setelah mahasiswa di kampus Dinar mampu menyelesaikan studinya. Dinar tersenyum melihat mahkota itu bertengger dengan gagah di kepalan sosok itu.

Tiga langkah Dinar terus berjalan.

Sosok itu kini sedang berganti gaya untuk mengabadikan momen terpenting dalam hidupnya. Berganti pasangan untuk berfoto. Lagi-lagi Dinar tersenyum, seolah merasakan kebahagian lelaki itu. Menikmati setiap momen yang ada.

Enam langkah Dinar mendekat.

Lelaki itu sempat melihat ke arah Dinar. Tersenyum lebar dan kemudian teralihkan saat seorang perempuan berparas cantik mengampirinya dan memeluknya erat. Dinar melihat lelaki itu tersenyum lebar. Namun kali ini, dia tak bisa ikut tersenyum melihatnya.

Langkah ketujuh yang tak pernah dibuatnya.

Dinar berbalik arah. Menjauh dari keramaian. Menjauh dari pusaran kehancuran dirinya. Ia tahu hatinya terlalu sakit untuk ada di sini. Hatinya terlalu naif untuk mengakui bahwa dirinya tak lebih dari sekedar teman.

Buket yang digenggamnya kuat dari tadi harus berakhir miris pada tempat sampah. Lelaki itu tak akan pernah menerima bunga itu sebagaimana dia tak akan pernah menerima perasaaan Dinar kepadanya.

---

Read My Mind

Monday, 9 May 2016

I owe this picture here
Sering kali saya mengira bahwa orang bisa dengan mudah membaca pikiran, memahami pola pikir dan pendapat yang saya ungkapkan ataupun ingin ungkapan. Namun, saya terjebak pada pemikiran khayalan. Seluruh orang yang saya temui kesulitan untuk “membaca pikiran” saya. Justru mereka sering sekali menyalah artikan pemikiran saya terutama bagi mereka yang bertemu saya hanya pada satu dua kesempatan.

Membaca pikiran yang maksudkan di sini bukanlah sesuatu kemampuan luar biasa yang mungkin dimiliki seseorang untuk membaca apa yang dipikirkan lawan bicara. Kalau ada yang seperti itu, saya juga akan sangat ketakutan (ya, karena terlalu banyak pemikiran aneh di otak saya). Saya hanya berbicara mengenai individu dan individu lain yang mencoba untuk saling memahami apa yang diungkapkan lawan bicaranya tanpa perlu memberikan judgement atau penilaian yang terlalu dini.

Mari kita lihat keadaan di sekitar kita saat ini. Banyak masalah dan juga fenomena yang hangat dibicarakan masyarakat. Contohnya saja fenomena LGBT. Fenomena ini telah menjadi buah bibir di masyarakat luas sejak beberapa bulan lalu terutama setelah Amerika melegalkan pernihakan sesama jenis. Banyak opini yang menyeruak ke permukaan mengenai LGBT. Tentunya ada yang pro dan ada yang kontra.
Saya menemukan beberapa pemikiran menarik mengenai LGBT di platform media sosial ask.fm. Ada satu pengguna ask.fm yang menyatakan bahwa perilaku LGBT memang dilarang agama dan dia tidak mendukung perilaku LGBT akan tetapi sebagai sesama manusia yang memiliki hak sama di dunia ini, pengguna tersebut menyatakan bahwa dia akan mendukung setiap individu yang menyatakan LGBT. Lebih mendukung ke arah kebebasan memilih dan berpendapat lebih tepat.

Beberapa saat setelah pengguna tersebut menyatakan pendapatnya, banyak pertanyaan masuk berisikan komentar negatif. Bahkan sampai ada yang mengatainya kafir dan homoseksual (karena mendukung orang-orang LGBT). Padahal menurut saya, jawaban pengguna tersebut di ask.fm dengan jelas menunjukan bahwa dia memang mengakui bahwa perilaku LGBT salah. Lantas mengapa dia harus dikatai dan dicerca secara kasar?

Menurut saya, ini yang sering terjadi di masyarakat. Pola berpikir yang terlalu terburu-buru tanpa mendalami dan melihat sisi lain. Jika saya bisa katakan, masyarakat Indonesia, umumnya memiliki pemikiran sempit. Arahan dalam menentukan keputusan hanya fokus pada satu dua arah sedangkan arah lainnya masih sangat banyak. Padahal banyak sekali faktor yang perlu dilihat dalam menilai suatu kejadian, perilaku dan juga pendapat.

Penilaian yang sepihak di masyarakat bisa membuat tiap-tiap individu takut mengungkapkan pendapat. Saya termasuk di dalamnya. Setiap kali saya bersama keluarga ataupun teman-teman saya benar-benar berpikir berulang kali untuk mengungkapkan pendapat. Pernah saya mencoba mengungkapkan pemikiran saya yang sedikit radikal, memang tidak sampai dikatai memang, hanya saja lawan bicara saya terdiam dan tidak mau meneruskan pembicaraan tersebut. Apalagi ketika ekspresi mereka mulai menunjukan ketidaksukaan atau keanehan akan omongan saya. Saat itu juga saya akan bilang, “ya sudah”. Beres, saya tidak akan melanjutkannya lagi.

Keadaan seperti ini akan sangat merugikan. Dampak besarnya bisa saja sampai pada fase tidak berkembangnya ilmu pengetahuan baru karena pola pikir yang terlalu sempit.  Setiap individu akan kehilangan keberanian untuk mengungkapkan pendapat tanpa perlu diberi label orang individu lain. Saya pun bukan orang terbaik yang bisa kalian temukan dalam masalah seperti ini. Secara tidak sadar kadang saya sudah menganiaya beberapa orang karena memberinya label. Saya hanya mencoba memulai dan belajar untuk mengenali dan memahami sisi lain setiap hal. Semoga banyak gerakan positif yang dapat mengubah pola pikir masyarakat menjadi lebih baik entah itu kampanye media sosial maupun komunitas diskusi. Mari menjadi lebih baik!

Doing Nothing

Friday, 25 March 2016

Banyak hal yang lakukan tapi tidak dengan menulis blog. Saya juga bertanya-tanya mengapa saya tidak menulis? Sesibuk itukah saya? Rasanya saya tidak sesibuk itu. Penelitian saya sudah berlalu meski data yang harus diolah sangat banyak. Ataukah mungkin inspirasi saya untuk menulis hilang? Untuk kemungkinan kedua ini bisa saya iyakan.

Sebelum mulai menulis lagi, saya mau bercerita tentang kehidupan ((duilah kehidupan)). Alhamdulillah saat ini saya sedang menikmati peran sebagai mahasiswa tingkat akhir. Kesibukannya selain ngurus data, saya juga harus mengurus dua keponakan saya yang makin pintar. Bisa dibilang saya part-time babysitter hehe tapi tanpa bayaran. Begitulah.

Selain itu saya juga sibuk fangirling ciwi ciwi kece a.k.a Red Velvet. Entahlah kalau ada yang bilang, masih jaman kokorean? Saya bakal bilang saya susah pindah ke lain hati ((dalem)) mangkannya suka koreanya lama. Mumpung merayakan comeback Red Velvet mari kita tonton bersama music video (MV) terbaru mereka. Enjoy the MV  dan semoga saya makin rajin nulis ya :p


 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS