Seharusnya
Tuesday, 20 December 2016
Setengah mati menahannya berkeliaran di otak, akhirnya saya benar-benar menuliskan ini.
Fase itu akhirnya datang. Fase dimana yang abu terasa lebih jelas. Fase dimana saya tahu posisi saya.
Seharusnya saya senang. Akhirnya saya tidak perlu berdebat dengan diri sendiri lagi. Tidak perlu memilih antara tinggal atau pergi. Sekarang saya tahu dengan jelas mana yang akan saya pilih.
Momen saat saya merasa lega mengetahui semuanya namun juga sangat ingin menangis saat tahu jawabannya.
I’m just a friend he said.
Seharusnya tidak ada yang salah dengan kalimat itu. Justru itu jawaban yang selalu saya tanyakan sejak lama. Sialnya, diri saya merasa sedih. Pada saat akhirnya saya mengetahui jawaban itu, saya merasa sangat sedih.
Saya tidak ingin berlarut. Manusia datang dan pergi bukan? Kenangan pun begitu.
Seharusnya begitu.
Seharusnya.
Seharusnya.
Bahkan seharusnya saya tidak menulis ini. Tidak akan ada yang berubah. Tidak pula orang-orang akan mengerti dengan apa yang saya tulis. Namun itu seharusnya.
Karena saya yang sekarang memilih segala sesuatu yang berlawanan dengan itu. Saya tidak tersenyum. Saya menangis. Saya merasa bodoh. Saya tidak senang. Saya terlarut. Saya menulis ini.
See, pada akhirnya saya memang seperti ini. Melewati batas yang seharusnya dijaga, bahkan seharusnya dihindari. Mungkin tulisan ini tak akan pernah ada jika hari itu saya tidak menuruti sesuatu disebut kata hati. Mungkin semuanya akan baik-baik saja, jika bukan kepada dia saya berlari. Sayangnya semua sudah terjadi dan saya tidak baik-baik saja. Tidak untuk sekarang.
Saturday, 19 November 2016
“Bantulah dia, tolonglah dia. Barangkali nanti saat kamu membutuhkan pertolongan, dia akan membantu.”
Thursday, 27 October 2016
Taken by aroktavia |
Monday, 10 October 2016
Taken by aroktavia |
Taken by aroktavia |
Sunday, 9 October 2016
Taken by aroktavia |
Kepala saya sakit dalam artian kata sebenarnya. Suhu tubuh saya meninggi. Hidung saya tersumbat. Ini adalah hari ke delapan kondisi tubuh saya menurun dan tidak kunjung membaik. Bukan hanya lelah fisik sepertinya tapi pikiran saya pun ikut lelah.
Belum sebulan resmi menjadi sarjana, saya sudah dirongrongi pemikiran kapan saya bekerja, kapan saya berpenghasilan sendiri, kapan saya tidak merepotkan kedua kakak saya, kapan saya benar-benar mandiri dan pertanyaan pertanyaan lainnya. Belum resmi sebulan tapi beban itu terasa berat ditambah pandangan orang yang menilai saya tidak berusaha dan terlalu diam.
Saya berpikir setiap hari. Saya menyusun rencana setiap hari. Apakah perlu saya bercerita pada dunia akan setiap detail rencana saya? Tentu saja tidak. Sejak dulu saya sangat malas bercerita rencana yang saya susun kepada siapapun termasuk kepada keluarga saya. Salah satu alasan saya tidak menceritakannya karena saya khawatir rencana itu tidak berjalan dan justru akan menjadi penilaian buruk bagi saya. Belum lagi manusia-manusia yang selalu berpikir paling benar, ketika saya bercerita rencana hidup saya muncullah komentar yang kadang terkesan sangat sok tahu akan rencana itu. Ya, dan saya pikir tidak ada salahnya menyimpan rencana masa depan untuk diri sendiri.
Hari Minggu ini, sebuah panggilan masuk dari Ibu membuat saya (akhirnya) bercerita dengan detail bagaimana rencana yang saya miliki kepada beliau. Saya pikir beliau berhak tahu secara detail. Setidaknya untuk menghindari kekhawatiran beliau yang tidak bisa menemani, menjaga dan mengurus saya selama ini.
Panggilan suara pagi ini terasa sendu. Entah karena saya dan Ibu sama-sama sedang sakit, entah karena cuaca yang dingin, entah karena hormon saya sedang tidak stabil, entah karena saya sedang rindu, ataupun entah karena saya akhirnya butuh menangis. Tangisan itu menyedihkan tapi menyembuhkan secara bersamaan. Tangisan pagi ini membuat saya sadar ada seseorang yang selalu mendoakan saya, mendukung saya dan percaya bahwa saya mampu. Ketika beberapa orang mengernyitkan dahi saat mendengar keinginan dan cita-cita saya, Ibu dengan bangga berkata
"Kamu itu perempuan tapi punya cita-cita yang tinggi. Mamah selalu mendoakan semoga semuanya lancar."
Kalimat itu merangkum semuanya. Rasa bangga, kecemasan dan juga harapan. Saya tahu jalanan itu terjal dan jalanan itu gelap tapi setidaknya saya masih hidup dan punya akal untuk menghadapinya. Ya, semoga saya bisa menghadapinya.
Tuesday, 27 September 2016
I owe this picture here |
Apa yang membuatmu tersenyum setiap harinya?
Apa pula yang membuat hatimu berdesir tenang?
Wednesday, 21 September 2016
p.s. Numpang promosi instagram saya sekalian pamer foto selepas sidang ;)
A photo posted by Ade Risti Oktavia (@aroktavia) on
A photo posted by Ade Risti Oktavia (@aroktavia) on
Sunday, 31 July 2016
Setiap harinya di lingkungan pertemanan, saya akan mengambil porsi menjadi sosok yang lebih sering memperhatikan dan mengamati kebiasaan setiap orang. Saya hafal setiap cerita yang teman saya ceritakan, saya tahu kebiasaan mereka, saya tahu bagaimana mereka berekspresi dan biasanya saya bisa menebak apa yang teman saya pikirkan dan inginkan.
Bukan hanya di lingkaran terdalam teman saya, bahkan dengan teman sekolah atau kampus pun begitu. Saya akan lebih hafal wajah dan nama mereka serta kerjadian kapan kami bertemu sedangkan mereka hanya tau saya sekilas atau bahkan tidak tahu sama sekali. Memang tidak selalu, tapi seringkali saya yang punya porsi lebih "memperhatikan",
Kebiasaan itulah yang sering kali membuat saya berpikir, "It's okay, gak semua orang bakalan tau soal lo kan. Semua orang gak akan memperhatikan lo sampe segitu." Pemikiran itu membuat saya terbiasa tidak terlihat. Jadinya ketika ada yang benar-benar melihat saya, saya akan dengan mudah menjadi luluh.
Saya tipikal yang mudah bercerita dengan teman dekat saya. Sejujurnya saya tidak berekspektasi mereka harus mengingat setiap detail yang saya ceritakan. Biasanya mereka akan lupa atau bingung. Misalnya saya gak suka kacang, teman saya ada yang lupa atau gak hafal dengan kebiasaan saya itu ya tidak apa-apa. Kalau mereka lupa ya wajar, nanti saya ingatkan lagi. Sesederhana itu bagi saya.
Sesuatu yang mengejutkan (lebay sih) terjadi beberapa hari lalu. Seorang teman membuat saya sangat diperhatikan. Dia ingat saya tidak suka dan tidak biasa menunggu kendaraan umum pada lokasi tertentu di sekitar kampus apalagi ketika malam hari. Dia juga bersikeras mengantarkan saya pada lokasi yang lebih "baik" untuk menunggu kendaraan umum. Walaupun alasan yang dia ungkapkan hanya karena dia gentle, saya tetap senang dia mengingat kebiasaan saya. Saya merasa diperhatikan :')
p.s : Kalau orangnya baca, iya loh saya seneng diperhatikan meski sebenernya itu agak drama dan too much. Makasih banyak ya sudah mengingat kebiasaan saya.
Friday, 15 July 2016
Isi kepalaku terlalu riuh
Tentang ini dan itu
Juga tentang aku dan kamu
Tentang kehidupan
Dan kau juga di dalamnya
Bagiku isi kepala ini terlalu riuh
Kotaknya yang terlalu sempit
Ruangnya yang terbagi
Sulit bagiku mencari ketenangan
Meski kau ada di dalamnya
Dan tawa itu tak bisa lebih kencang
Senyum itu tak bisa menenangkan
Isi kepalaku terlalu riuh
Sangat riuh denganmu di dalamnya
Thursday, 23 June 2016
Taken by Me |
Sunday, 5 June 2016
I owe this picture here |
Tuesday, 31 May 2016
Sunday, 22 May 2016
pic source : tumblr |
Monday, 9 May 2016
I owe this picture here |
Membaca pikiran yang maksudkan di sini bukanlah sesuatu kemampuan luar biasa yang mungkin dimiliki seseorang untuk membaca apa yang dipikirkan lawan bicara. Kalau ada yang seperti itu, saya juga akan sangat ketakutan (ya, karena terlalu banyak pemikiran aneh di otak saya). Saya hanya berbicara mengenai individu dan individu lain yang mencoba untuk saling memahami apa yang diungkapkan lawan bicaranya tanpa perlu memberikan judgement atau penilaian yang terlalu dini.
Mari kita lihat keadaan di sekitar kita saat ini. Banyak masalah dan juga fenomena yang hangat dibicarakan masyarakat. Contohnya saja fenomena LGBT. Fenomena ini telah menjadi buah bibir di masyarakat luas sejak beberapa bulan lalu terutama setelah Amerika melegalkan pernihakan sesama jenis. Banyak opini yang menyeruak ke permukaan mengenai LGBT. Tentunya ada yang pro dan ada yang kontra.
Saya menemukan beberapa pemikiran menarik mengenai LGBT di platform media sosial ask.fm. Ada satu pengguna ask.fm yang menyatakan bahwa perilaku LGBT memang dilarang agama dan dia tidak mendukung perilaku LGBT akan tetapi sebagai sesama manusia yang memiliki hak sama di dunia ini, pengguna tersebut menyatakan bahwa dia akan mendukung setiap individu yang menyatakan LGBT. Lebih mendukung ke arah kebebasan memilih dan berpendapat lebih tepat.
Beberapa saat setelah pengguna tersebut menyatakan pendapatnya, banyak pertanyaan masuk berisikan komentar negatif. Bahkan sampai ada yang mengatainya kafir dan homoseksual (karena mendukung orang-orang LGBT). Padahal menurut saya, jawaban pengguna tersebut di ask.fm dengan jelas menunjukan bahwa dia memang mengakui bahwa perilaku LGBT salah. Lantas mengapa dia harus dikatai dan dicerca secara kasar?
Menurut saya, ini yang sering terjadi di masyarakat. Pola berpikir yang terlalu terburu-buru tanpa mendalami dan melihat sisi lain. Jika saya bisa katakan, masyarakat Indonesia, umumnya memiliki pemikiran sempit. Arahan dalam menentukan keputusan hanya fokus pada satu dua arah sedangkan arah lainnya masih sangat banyak. Padahal banyak sekali faktor yang perlu dilihat dalam menilai suatu kejadian, perilaku dan juga pendapat.
Penilaian yang sepihak di masyarakat bisa membuat tiap-tiap individu takut mengungkapkan pendapat. Saya termasuk di dalamnya. Setiap kali saya bersama keluarga ataupun teman-teman saya benar-benar berpikir berulang kali untuk mengungkapkan pendapat. Pernah saya mencoba mengungkapkan pemikiran saya yang sedikit radikal, memang tidak sampai dikatai memang, hanya saja lawan bicara saya terdiam dan tidak mau meneruskan pembicaraan tersebut. Apalagi ketika ekspresi mereka mulai menunjukan ketidaksukaan atau keanehan akan omongan saya. Saat itu juga saya akan bilang, “ya sudah”. Beres, saya tidak akan melanjutkannya lagi.
Keadaan seperti ini akan sangat merugikan. Dampak besarnya bisa saja sampai pada fase tidak berkembangnya ilmu pengetahuan baru karena pola pikir yang terlalu sempit. Setiap individu akan kehilangan keberanian untuk mengungkapkan pendapat tanpa perlu diberi label orang individu lain. Saya pun bukan orang terbaik yang bisa kalian temukan dalam masalah seperti ini. Secara tidak sadar kadang saya sudah menganiaya beberapa orang karena memberinya label. Saya hanya mencoba memulai dan belajar untuk mengenali dan memahami sisi lain setiap hal. Semoga banyak gerakan positif yang dapat mengubah pola pikir masyarakat menjadi lebih baik entah itu kampanye media sosial maupun komunitas diskusi. Mari menjadi lebih baik!
Friday, 25 March 2016
Sebelum mulai menulis lagi, saya mau bercerita tentang kehidupan ((duilah kehidupan)). Alhamdulillah saat ini saya sedang menikmati peran sebagai mahasiswa tingkat akhir. Kesibukannya selain ngurus data, saya juga harus mengurus dua keponakan saya yang makin pintar. Bisa dibilang saya part-time babysitter hehe tapi tanpa bayaran. Begitulah.
Selain itu saya juga sibuk fangirling ciwi ciwi kece a.k.a Red Velvet. Entahlah kalau ada yang bilang, masih jaman kokorean? Saya bakal bilang saya susah pindah ke lain hati ((dalem)) mangkannya suka koreanya lama. Mumpung merayakan comeback Red Velvet mari kita tonton bersama music video (MV) terbaru mereka. Enjoy the MV dan semoga saya makin rajin nulis ya :p