Sudah cukup lama saya tidak menulis tentang sesuatu yang agak serius.
Mungkin beberapa dari kalian akan bosan membaca blog saya yang diisi dengan tulisan project 101 Things That I Wanna Say To You (tetep promosi ya :p). Haha
maklum ya jiwa marketingnya keluar.
Sudah, sudah mari fokus kembali. (Maafkan penulis yang suka melenceng
keman-mana)
Judul tulisan saya kali ini memang agak rasis. Secara membawa dua nama
suku yang ada di Indonesia. Saya gak berniat membahas hidup orang lain. Yang
saya mau bahas kali ini ya tetap hidup saya. Tentang saya yang seolah
kehilangan identitas diri.
Alkisah.
Dulu sekali, seorang anak perempuan bernama Ade Risti lahir di Sukoharjo.
Dia adalah keturunan dari sepasang sejoli berdarah Jawa. Jauh sebelum dia
lahir, kedua orang tuanya telah berkelana mencari rezeki ke daerah Sumedang
yang terletak di Jawa Barat.
Sejak kecil, anak perempuan itu turut berkelana bersama kedua orang
tuanya. Hal itu berbeda dengan kedua kakaknya yang tinggal di
daerah asal mereka. Anak perempuan itu tumbuh dan berkembang di lingkungan
Sunda. Tetangganya semua asli Sunda, pengasuhnya juga asli orang Sunda. Sejak
TK hingga SMA, anak itu juga bersekolah dan berteman dengan orang-orang Sunda.
Bahkan ketika mengecap pendidikan yang lebih tinggi dia berkuliah di
universitas dengan nama yang sangat kental kesunda-sundaannya. Lokasinya pun
masih di daerah Jawa Barat, secara tidak langsung dia tetap berkutat di
lingkungan itu.
Anak perempuan itu tidak merasa terganggu dengan lingkungannya. Dia
menikmati hidup bersama orang Sunda. Teman baiknya pun berasal dari suku Sunda.
Walau terkadang, ketika sesekali dia pulang ke kampung halamannya, dia lebih
sering memamerkan senyum dan cengiran khas ketika diajak mengobrol mengggunakan
bahasa jawa. Antara bingung ditanya apa dan bingung tidak tahu harus menjawab
apa.
Dia tetap menikmati hidupnya. Justru dia bersyukur bisa hidup di antara
irisan kedua suku. Sampai suatu hari, dia bertemu dengan seorang pemuda. Pemuda
itu tampan (emang ganteng sih jadi gimana dong, palingan orangnya juga nyadar
kalau dia ganteng. Sebenernya gak nyambung sih tapi biarkan lah). Pemuda itu sama dengan anak perempuan tadi, terlahir dan
berasal dari suku Jawa. Logat Jawanya sangat kental. Orang yang bertemu
dengannya bisa langsung menebak bahwa dia orang Jawa.
Siang hari itu, anak perempuan itu berkata, “Aku orang jawa loh. Gak
keliatan kan? Logat jawanya pun gak ada?”
Pemuda itu terkejut, “Hah? Masa?”
Bagi anak perempuan itu, sudah biasa mengatakan identitas dirinya seperti
itu dan mendapati keterkejutan dari orang-orang.
Di lain hari, sang pemuda bertanya kepada anak perempuan itu, “Di rumah
gak diajarin bahasa jawa apa? Ngomongnya sunda terus?” Dia mempertanyakannya.
Jelas karena anak perempuan itu justru lebih fasih berbahasa Sunda.
“Iya, gue kehilangan identitas,” kata anak perempuan itu dengan jenaka.
Itu adalah kalimat pamungkasnya untuk menghindari pertanyaan yang lebih
membingungkan.
Anak perempuan itupun menjelaskan. Apa yang menyebabkannya tidak terbiasa
menggunakan bahasa Jawa. Pengaruh lingkungan sangat penting dalam hal ini. Lagi
pula, ketika anak perempuan itu kecil terasa aneh jika menggunakan bahasa Jawa
diantara temannya yang orang Sunda. Dia bisa saja habis-habisan dikatai. Dalam
kasus ini, fakta bahwa anak perempuan itu keturunan Jawa saja sudah menjadi
bahan olok-olokan.
Suatu hari, anak perempuan itu mendengar (walau secara tidak langsung)
sang pemuda berkata, “Kalau di rumah memang diwajibkan berbahasa Jawa sama
Bapak. Supaya gak lupa sama budaya.” Pernyataan itu sebagai jawaban dari
pertanyaan yang diajukan teman mereka berdua. Salah sorang teman itu hanya
bertanya, mengapa kamu mengunakan bahasa Jawa.
Pernyataan dari pemuda itu membuat anak perempuan itu berpikir.
Benar-benar berpikir. Benarkah dirinya kehilangan identitas? Sungguh. Sekali
seumur hidupnya, dia benar-benar merasa sedih hidup di antara irisan kedua
suku. Hanya karena bertemu dengan pemuda itu. Hanya karena mendengar apa
pendapat orang.
Sekian.
Sampai hari ini, terkadang saya merasa terlalu lemah. Mengapa memikirkan
pendapat orang lain tentang saya? Saya seharusnya tidak perlu merasa aneh, gak
normal atau semacamnya. Saya seharusnya tetap menjadi saya yang dulu. Saya seharusnya
memanfaatkan kesempatan yang Tuhan beri kepada saya. Hidup di dua budaya tentu
akan memperkaya pengetahuan. Saya merasakannya. Sangat. Terkadang saya ingin
berteriak kepada diri saya sendiri dan berkata, “Fokus sama apa yang kamu
punya! Syukuri apa yang kamu punya!” Saya berharap saya bisa lebih kuat.
Untuk siapapun di luar san yang punya kehidupan seperti saya mungkin bisa
lebih rumit. Mari kita syukuri saja apa yang Tuhan beri. Tuhan patsi tahu apa
yang terbaik untuk kita. Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca tulisan
saya yang absurd. :)
Wee saya tidak memilih og hehe...<--------- (kakak yg protes)..
ReplyDeleteHohoho anggaplah begitu. Ralat deh hoho
Delete