Pages

Jawa atau Sunda

Monday 17 August 2015


Sudah cukup lama saya tidak menulis tentang sesuatu yang agak serius. Mungkin beberapa dari kalian akan bosan membaca blog saya yang diisi dengan tulisan project 101 Things That I Wanna Say To You (tetep promosi ya :p). Haha maklum ya jiwa marketingnya keluar.
Sudah, sudah mari fokus kembali. (Maafkan penulis yang suka melenceng keman-mana)
Judul tulisan saya kali ini memang agak rasis. Secara membawa dua nama suku yang ada di Indonesia. Saya gak berniat membahas hidup orang lain. Yang saya mau bahas kali ini ya tetap hidup saya. Tentang saya yang seolah kehilangan identitas diri.
Alkisah.
Dulu sekali, seorang anak perempuan bernama Ade Risti lahir di Sukoharjo. Dia adalah keturunan dari sepasang sejoli berdarah Jawa. Jauh sebelum dia lahir, kedua orang tuanya telah berkelana mencari rezeki ke daerah Sumedang yang terletak di Jawa Barat.
Sejak kecil, anak perempuan itu turut berkelana bersama kedua orang tuanya. Hal itu berbeda dengan kedua kakaknya yang tinggal di daerah asal mereka. Anak perempuan itu tumbuh dan berkembang di lingkungan Sunda. Tetangganya semua asli Sunda, pengasuhnya juga asli orang Sunda. Sejak TK hingga SMA, anak itu juga bersekolah dan berteman dengan orang-orang Sunda. Bahkan ketika mengecap pendidikan yang lebih tinggi dia berkuliah di universitas dengan nama yang sangat kental kesunda-sundaannya. Lokasinya pun masih di daerah Jawa Barat, secara tidak langsung dia tetap berkutat di lingkungan itu.
Anak perempuan itu tidak merasa terganggu dengan lingkungannya. Dia menikmati hidup bersama orang Sunda. Teman baiknya pun berasal dari suku Sunda. Walau terkadang, ketika sesekali dia pulang ke kampung halamannya, dia lebih sering memamerkan senyum dan cengiran khas ketika diajak mengobrol mengggunakan bahasa jawa. Antara bingung ditanya apa dan bingung tidak tahu harus menjawab apa.
Dia tetap menikmati hidupnya. Justru dia bersyukur bisa hidup di antara irisan kedua suku. Sampai suatu hari, dia bertemu dengan seorang pemuda. Pemuda itu tampan (emang ganteng sih jadi gimana dong, palingan orangnya juga nyadar kalau dia ganteng. Sebenernya gak nyambung sih tapi biarkan lah). Pemuda itu sama dengan anak perempuan tadi, terlahir dan berasal dari suku Jawa. Logat Jawanya sangat kental. Orang yang bertemu dengannya bisa langsung menebak bahwa dia orang Jawa.
Siang hari itu, anak perempuan itu berkata, “Aku orang jawa loh. Gak keliatan kan? Logat jawanya pun gak ada?”
Pemuda itu terkejut, “Hah? Masa?”
Bagi anak perempuan itu, sudah biasa mengatakan identitas dirinya seperti itu dan mendapati keterkejutan dari orang-orang.
Di lain hari, sang pemuda bertanya kepada anak perempuan itu, “Di rumah gak diajarin bahasa jawa apa? Ngomongnya sunda terus?” Dia mempertanyakannya. Jelas karena anak perempuan itu justru lebih fasih berbahasa Sunda.
“Iya, gue kehilangan identitas,” kata anak perempuan itu dengan jenaka. Itu adalah kalimat pamungkasnya untuk menghindari pertanyaan yang lebih membingungkan.
Anak perempuan itupun menjelaskan. Apa yang menyebabkannya tidak terbiasa menggunakan bahasa Jawa. Pengaruh lingkungan sangat penting dalam hal ini. Lagi pula, ketika anak perempuan itu kecil terasa aneh jika menggunakan bahasa Jawa diantara temannya yang orang Sunda. Dia bisa saja habis-habisan dikatai. Dalam kasus ini, fakta bahwa anak perempuan itu keturunan Jawa saja sudah menjadi bahan olok-olokan.
Suatu hari, anak perempuan itu mendengar (walau secara tidak langsung) sang pemuda berkata, “Kalau di rumah memang diwajibkan berbahasa Jawa sama Bapak. Supaya gak lupa sama budaya.” Pernyataan itu sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan teman mereka berdua. Salah sorang teman itu hanya bertanya, mengapa kamu mengunakan bahasa Jawa.
Pernyataan dari pemuda itu membuat anak perempuan itu berpikir. Benar-benar berpikir. Benarkah dirinya kehilangan identitas? Sungguh. Sekali seumur hidupnya, dia benar-benar merasa sedih hidup di antara irisan kedua suku. Hanya karena bertemu dengan pemuda itu. Hanya karena mendengar apa pendapat orang.
Sekian.
Sampai hari ini, terkadang saya merasa terlalu lemah. Mengapa memikirkan pendapat orang lain tentang saya? Saya seharusnya tidak perlu merasa aneh, gak normal atau semacamnya. Saya seharusnya tetap menjadi saya yang dulu. Saya seharusnya memanfaatkan kesempatan yang Tuhan beri kepada saya. Hidup di dua budaya tentu akan memperkaya pengetahuan. Saya merasakannya. Sangat. Terkadang saya ingin berteriak kepada diri saya sendiri dan berkata, “Fokus sama apa yang kamu punya! Syukuri apa yang kamu punya!” Saya berharap saya bisa lebih kuat.
Untuk siapapun di luar san yang punya kehidupan seperti saya mungkin bisa lebih rumit. Mari kita syukuri saja apa yang Tuhan beri. Tuhan patsi tahu apa yang terbaik untuk kita. Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca tulisan saya yang absurd. :)

2 comments:

  1. Wee saya tidak memilih og hehe...<--------- (kakak yg protes)..

    ReplyDelete

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS