I owe the picture here |
Banyak orang yang selalu meyakinkan laki-laki itu untuk keluar dari zona
nyamannya. Bukan hanya sekali juga laki-laki itu mencoba untuk keluar dari zona
nyamannya. Ia sudah terlalu bosan untuk terus mencoba dan akhir menemukan fakta
bahwa dia tak bisa pergi dari sana. Tempat dimana dia selalu kembali pulang.
Bimo Mahardika Atmojo. Sudah berulang kali dia mencoba untuk pergi
menjauh dari racun dalam hidupnya. Sejauh itu pula dia selalu kembali kepada
pada sosok itu. Sosok gadis yang tak pernah bisa dia hapuskan dari pikirannya
sejak pertama kali mereka bertemu.
Sudah lebih dari tiga tahun rasanya mereka bersama. Dan Bimo, masih
terjebak dalam keadaan itu. Dalam keadaan yang tak berdaya dan lebih memilih
bertahan lebih lama dibandingkan menyerah. Dia terlalu sayang dan takut
kehilangan dalam waktu yang bersamaan. Bagi Bimo hidup jauh dari gadis itu
adalah ide paling buruk yang pernah muncul di otaknya yang cemerlang.
Dia pernah hampir gila memikirkan kemungkinan berpisah dengan Kanaya, ya
nama gadis itu, gadis yang membuatnya gila.
Hari itu satu minggu menjelang pendaftaran seleksi masuk perguruan
tinggi, Kanaya bertanya pada Bimo, “Gimana kalau aku kuliah di Jepang? Aku gak
perlu daftar SNMPTN kayak gini. Ribet tau gak sih Bim.”
Bimo hanya bisa tergelak. Panik dia mencoba menggugurkan rencana Kanaya.
“Kamu yakin Ibu bakal ngizinin? Kemarin minta kuliah di Jogja aja malah
dimarah-marahin. Udahlah mending kuliah di Bandung,” ujar Bimo mencoba
meyakinkan Kanaya.
“Bosen Bim. Seumur hidup dari kecil sampe sekarang tinggal di Bandung
mulu. Urusan Ibu kan gampang. Ibu pasti seneng anaknya bisa kuliah di luar
negeri,” kata gadis itu sembari memamerkan deretan giginya yang tidak rapih.
“Yakin banget sih. Gak kasian apa ninggalin Ibu sendiri?” Bimo tak mau
berhenti begitu saja membuat gadis itu menyerah. Usahanya tak berhenti disitu.
Kanaya berpaling dari novel yang dipegangnya. Dia menunjukan muka yang
sangat sebal pada Bimo. “Belum apa-apa udah bikin patah semakin. Gak asik Bim,”
protesnya.
Bimo hanya bisa tertawa. Diacak-acaknya puncak kepala Kanaya. “Bukannya
mau bikin patah semangat. Aku cuma ngasih tahu sesuatu yang realistis. Kamu mau
pergi dari Ibu? Jauh dari aku?”
Kanaya terdiam. Dia tidak tahu jawaban apa yang tepat untuk pertanyaan
Bimo. Dia memang tidak pernah jauh dari Ibunya. Dan orang di sampingnya
sekarang menjadi orang kedua yang tak bisa Kanaya jauhi. Entah mengapa, Kanaya
tak bisa jauh dari Bimo. Dia sudah terlalu terbiasa.
Dua tahun sejak percakapan itu berlalu, Bimo memang berhasil membuat
Kanaya tetap berada disampingnya. Dan selama dua tahun itu pula Bimo berhasil
membuat dirinya semakin nyaman berada dekat dengan Kanaya. Dia hanya berharap,
semuanya akan baik-baik saja.
No comments:
Post a Comment