Pages

Note #1

Monday 29 June 2015

Seperti apa yang telah saya tuliskan di sini. Saya ingin kembali memulai kehidupan yang lebih baru dan lebih baik. Saya ingin kembali menulis. Dengan rutin dan teratur tentunya.
Perkenalkan blog ketiga yang pernah saya buat. Kertas Virtual. Mengapa namanya seperti itu? Sejujurnya saya hanya ingin membuat “nama baru” yang bisa melekat pada diri saya. Semacam label bahwa Kertas Virtual= Ade Risti = aroktavia. Namanya tidak begitu khas tetapi cukup mencirikan siapa saya. Saya hanya seorang penulis di atas kertas yang jauh lebih nyata dari kertas sesungguhnya yaitu dunia maya. Penulis di atas kertas nyata yang terpampang di layar. Itulah mengapa saya menamainya kertas virtual.
Dua blog yang pernah saya buat dan berisi berbagai kisah hidup, curahaan hati dan berbagai pengalaman lainnya sudah saya hapus. Jujur, saya ingin memulai semuanya dari baru. Bagi saya, selama blog itu masih ada, saya masih belum bisa move on menjadi lebih baik. Karena itulah semuanya saya hapus dan saya membuat blog baru ini.
Mulanya, blog ini hanya akan saya isi cerpen, cerbung dan beberapa kutipan yang saya suka. Sayangnya, untuk membuat karya pun saya tidak produktif. Akhirnya blog kembali terbengkalai dan saya malas-malasan.
But, sekali lagi, saya ingin menjadi seseorang yang baru seperti yang saya tuliskan di sini (promosi lagi). Saya ingin kembali bermimpi. Saya ingin kembali melakukan apa yang membuat hati saya menjadi hangat. Dan menulis salah satu di antaranya.
 Semoga ini bukan hanya angan. Semoga blog ini kedepannya akan semakin bermanfaat  (termasuk saya sendiri) dan menginspirasi. Semoga saya tetap memiliki mimpi.

My Blessed Day

Hari ini, ada hal yang membuat saya tertunduk penuh keharuan. Bukan hal yang besar tapi hanya hal sederhana yang mampu menggugah hati kecil ini. Membukakan jalan yang lebar untuk hati yang kebingungan mencari arah pulang. Hal itu pulalah yang membuat saya menulis, kembali menulis tepatnya.
Ramadhan adalah bulan penuh berkah dan itu yang terjadi pada saya. Saya bukan orang alim. Bukan orang yang selalu taat kepada-Nya. Saya hanya manusia biasa yang penuh dengan kesalahan. Beberapa bulan yang lalu, saya berpikir untuk memperbaiki diri. Hasilnya? Nol. Saya tetap jadi diri saya yang terlalu banyak “berpikir” dan tidak melakukan apapun. Baik itu soal keimanan saya maupun dalam kehidupan saya sebagai makhluk sosial. Tapi bulan Ramadhan tahun ini benar-benar membuat hidup saya berbeda (belum saatnya menggunakan kata berubah).
Beberapa minggu menjelang Ramadhan, saya bertemu seseorang. Baik, pintar, taat dan berwajah menarik. Saya kemudian sering berpikir. Orang seperti dia ini apa mungkin tertarik dengan saya? Jika boleh menilai diri, saya akan mengatakan bahwa saya orang yang menarik, baik (bagi sebagian besar orang), wawasan saya lumayan luas. Saya mencoba meyakinkan diri, jadi diri sendiri dan itu akan membuat nilai kepercayaan diri saya bertambah. Tapi sayangnya, semakin hari saya malah semakin tidak percaya diri.
Itu semua berawal dari saya yang men-stalk akun media sosial orang itu. Dia sangat alim (saya benar-benar ingin menekankan kata SANGAT). Dia itu ibarat idaman semua perempuan. Poin utamanya adalah dia taat agama.
Sejak itulah, saya berpikir dan teringat perkataan “lelaki baik hanya untuk perempuan yang baik”. Saya lupa kalimat pastinya. Kembali berkaca dan menilai diri sendiri. Laki-laki itu ibarat langit dibanding saya. Ketaatannya sangat jauh lebih baik dibanding saya (ini subjekif, sungguh). Kemudian muncul keinginan untuk menjadi seorang perempuan yang mencintai Tuhannya dengan baik. Mentaati segala perintah Tuhannya. Allah. Namun, namanya perbaikan tidak ada yang mudah. Itupun bagi saya. Maju mundur, kata artis fenomenal di Indonesia.
Saya mulai meneguhkan niat untuk kembali ke jalan yang direstui Allah. Bukan berarti selama ini saya ada di jalan yang salah, hanya saja jalannya kurang lurus karena keseringan mampir kiri kanan. Awalnya saya pikir ini karena saya ingin menaikan nilai yang ada pada diri saya di hadapan orang lain tapi semakin hari semakin saya berserah diri saya tahu apa yang saya lakukan adalah buah dari kerinduan untuk pulang, kembali kepada-Nya.
Kehidupan saya tidak seimbang. Yang dipikirkan hanya dunia melulu. Saya malu karena melupakan Dia yang memberikan keberkahan di dunia. Saya melaksanakan ibadah tapi tidak menggunakan hati saya di dalamnya. Saya salah. Sangat salah.
Jujur saja, menuliskan ini membuat saya takut dan malu. Tulisan ini adalah cerminan diri saya. Saya hanya takut berapa banyak orang yang akan melabeli saya dengan berbagai macam label. Tapi saya butuh menuliskannya. Untuk mengungkapkan betapa bahagianya saya dan bersyukurnya saya atas segala hal yang Allah berikan kepada saya. Bahkan dalam hal yang sangat sederhana.
Sore tadi, saya membaca sebuah jawaban menarik di ask.fm. Jawaban tentang Tuhan kah? Bukan. Itu hanyalah sebuah jawaban tentang mimpi seseorang. Mimpi yang sangat tulus. Mimpi untuk membantu kehidupan umat manusia. Muluk? Tidak bagi saya.
Setelahnya, saya kembali mengingat mimpi saya dulu. Apa yang saya ingin lakukan ketika saya sudah berhasil nanti? Saya hampir lupa jawaban yang ada pada diri saya sendiri. Tiba-tiba saja saya seperti ditinju. Rasanya ingin memaki diri sendiri yang begitu bodoh. Hidup membuat saya berubah, orientasi hidup saya pun berubah. Belakangan ini yang saya pikirkan hanya bekerja dengan baik dan dapat uang banyak. Tapi sungguh itu bukan yang seharusnya, kita, manusia, lakukan.
Setelah berpikir cukup keras (namun tidak begitu panjang), saya teringat kembali apa yang dulu pernah saya ingin lakukan. Ya, sangat ingin mempunyai uang yang sangat banyak. Bukan untuk saya tetapi untuk mereka yang memang berhak. Saya ingin membangun sekolah gratis di berbagai daerah di Indonesia dengan kualitas pendidikan yang baik. Rasanya sedih melihat pendidikan yang berkualitas itu selalu mahal. Saya ingin mereka yang belum mampu juga merasakan pendidikan terbaik. Saya tidak ingin mereka menutup pintu masa depan. Itu semua yang saya ingin lakukan.
Lantas apa hubungannya saya hal sederhana tadi, Allah dan mimpi saya?
Saya bahagia dan terharu bagaimana caranya Allah, Tuhan kita, menuntun kembali makhuknya ke jalan yang seharusnya. Membawa kembali untuk pulang. Menjalani fitrahnya sebagai manusia. Sederhana bukan membaca jawaban seseorang di ask.fm yang sering kita baca sepintas? Tapi pengaruhnya sungguh luar biasa.
Saya kembali punya mimpi. Bukan sekedar mimpi untuk diri sendiri. Ini adalah mimpi mereka semua yang selayaknya mengenyaam pendidikan. Saya kembali “pulang” ke tempat dimana saya seharusnya berada. Insya Allah, saya kembali ke jalan yang memang diridhoi oleh Allah.

Sendiri

Aku berpikir sendiri itu menyebalkan. Rasanya seperti tak dianggap jika melakukan segala sesuatunya sendiri. Karena itu, kemanapun aku pergi aku selalu meminta temanku untuk menemani. Rasanya menenangkan ketika seseornag bersedia hadir menemani kita.
Anehnya, seiring dengan bertambahnya usiaku, pada waktu-waktu tertentu aku sangat menikmati kesendirian. Aku yang sekarang seolah takut untuk terlalu banyak berinteraksi dengan orang-orang. Bagiku sekarang, cukup berbicara dan berinteraksi seperlunya.
Aku pun mulai terbiasa tidak menceritakan masalah-masalah pribadi pada teman dan sahabatku. Semua masalah itu berkeliaran bebas di kepala dan sulit untuk dibagi. Ada banyak pertimbangan ketika mulut ini akan menceritakan semuanya.
Menyukai kesendirian menjadi fase baru hidupku. Entah buruk atau tidak, aku tak begitu tahu. Apa yang aku rasakan hanya kenyamanan yang semakin sulit ditemukan.

Peluk

Aku hanya bisa menunduk. Memusatkan perhatianku pada sepasang sepatuusang yang selalu ku pakai. Aku tak mendengarmu, lebih tepatnya berpura-pura tak mendengarkanmu. Aku tak sanggup mengangkat kepalaku hingga mata kita bertemu, hingga ada rasa sakit yang tersalur kembali.
“Ayana,” panggilmu.
Suaramu masih sama seperti apa yang aku tahu. Caramu memanggil namaku juga masih sama, indah dan menyejukkan. Namun aku tetap bergeming, tak ada keinginan untuk menatap mata yang selalu menyejukkan hati itu.
“Ayana,” panggilmu kembali.
Dan kini, aku tidak benar-benar diam menatap sepatuku. Ada bulir hangat yang mengalir lembut di kedua pipiku. Pandanganku mengabur. Aku tak tahu pasti mengapa caramu memanggilku begitu pilu. Apa mungkin sakit yang kita rasakan sama?
Kumohon, jangan sebut lagi namaku karena aku yakin diam ini akan menjadi isak yang paling memilukan yang pernah kita dengar sayang.
“Ayana,” panggilmu untuk ketiga kalinya.
Aku berurai air mata dan suaru tangis yang sejak tadi aku tahan tak dapat lagi terbendung. Inikah musik pengiring perpisahan kita sayang? Begitu pilu dan menyakitkan. Aku tak pernah berpikir musik seperti ini yang akan kudengar di hari dimana kita akan berpisah. Tapi sayang, sejujurnya aku tak pernah berpikir untuk berpisah denganmu.
“Saya tahu ini sulit Ayana. Saya tahu bagaimana sakitnya sebuah perpisahan. Saya tahu bagaimana luka itu membekas Ayana, tapi semenyakitkan apapun itu perpisahaan ini harus kita hadapi,” itulah kalimat terpanjang yang kau ucapkan hari ini.
“Mungkin ini memang jalan terbaik yang bisa kita tempuh. Tuhan punya jalan cerita yang indah untuk kamu maupun untuk saya,” lanjutmu.
Air mataku tidak mengalir lagi. Aku benar-benar hanya bisa terdiam mendengar kalimat yang kau ucapkan barusan. Pikiranku melayang, berkelana mencari serpihan-serpihan ingatan mengapa kau dan aku menjadi seperti ini.
Cinta. Itu hal yang sama-sama kita rasa. Hal yang sama-sama kita yakini adanya. Karena cinta, aku dan dirimu berada dalam satu ikatan yang paling membahagiakan. Karena cinta pulalah, aku dan dirimu berdiri disini saling memandang dengan tatapan terluka. Andai saja semuanya dapat berubah, seandainya waktu dapat kuputar waktu hingga bukan ini jalan yang perlu kita tempuh.
“Ayana,” kau mulai menggenggam tanganku, sekuat tenaga aku tahan air mata yang mendesak keluar, “ pergilah, saya melepaskanmu dengan segenap hati dan jiwa saya. Pergilah, temui kebahagiaanmu sendiri Ayana. Tolong mengerti saya, ini yang terbaik yang bisa kita lalui.”
Kau merengkuhku ke dalam pelukkanmu. Peluk yang pernah dan akan selalu menjadi favoritku. Dalam peluk itu aku tertawa dan bahagia dan dalam peluk itu juga aku berurai air mata kesedihan karena harus berpisah denganmu.
Aku menghitung kapan tepatnya kan kau lepas peluk ini. Kapan tepatnya kau dan aku berpisah?
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua belas
Tiga be....
Kau melepaskan ku, menjauhkanku dari tempat nyaman yang selalu kudambakan. Ini akhir semuanya pikirku. Ini akhir kisah cintaku. Ini akhir kisah cinta kita, sayang.
“Selamat tinggal Ayana, semoga kau bahagia.”

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS