Aku hanya bisa menunduk. Memusatkan perhatianku pada sepasang
sepatuusang yang selalu ku pakai. Aku tak mendengarmu, lebih tepatnya
berpura-pura tak mendengarkanmu. Aku tak sanggup mengangkat kepalaku hingga
mata kita bertemu, hingga ada rasa sakit yang tersalur kembali.
“Ayana,”
panggilmu.
Suaramu
masih sama seperti apa yang aku tahu. Caramu memanggil namaku juga masih sama,
indah dan menyejukkan. Namun aku tetap bergeming, tak ada keinginan untuk
menatap mata yang selalu menyejukkan hati itu.
“Ayana,”
panggilmu kembali.
Dan
kini, aku tidak benar-benar diam menatap sepatuku. Ada bulir hangat yang
mengalir lembut di kedua pipiku. Pandanganku mengabur. Aku tak tahu pasti
mengapa caramu memanggilku begitu pilu. Apa mungkin sakit yang kita rasakan
sama?
Kumohon,
jangan sebut lagi namaku karena aku yakin diam ini akan menjadi isak yang
paling memilukan yang pernah kita dengar sayang.
“Ayana,”
panggilmu untuk ketiga kalinya.
Aku
berurai air mata dan suaru tangis yang sejak tadi aku tahan tak dapat lagi
terbendung. Inikah musik pengiring perpisahan kita sayang? Begitu pilu dan
menyakitkan. Aku tak pernah berpikir musik seperti ini yang akan kudengar di
hari dimana kita akan berpisah. Tapi sayang, sejujurnya aku tak pernah berpikir
untuk berpisah denganmu.
“Saya
tahu ini sulit Ayana. Saya tahu bagaimana sakitnya sebuah perpisahan. Saya tahu
bagaimana luka itu membekas Ayana, tapi semenyakitkan apapun itu perpisahaan
ini harus kita hadapi,” itulah kalimat terpanjang yang kau ucapkan hari ini.
“Mungkin
ini memang jalan terbaik yang bisa kita tempuh. Tuhan punya jalan cerita yang
indah untuk kamu maupun untuk saya,” lanjutmu.
Air
mataku tidak mengalir lagi. Aku benar-benar hanya bisa terdiam mendengar
kalimat yang kau ucapkan barusan. Pikiranku melayang, berkelana mencari
serpihan-serpihan ingatan mengapa kau dan aku menjadi seperti ini.
Cinta.
Itu hal yang sama-sama kita rasa. Hal yang sama-sama kita yakini adanya. Karena
cinta, aku dan dirimu berada dalam satu ikatan yang paling membahagiakan.
Karena cinta pulalah, aku dan dirimu berdiri disini saling memandang dengan
tatapan terluka. Andai saja semuanya dapat berubah, seandainya waktu dapat
kuputar waktu hingga bukan ini jalan yang perlu kita tempuh.
“Ayana,”
kau mulai menggenggam tanganku, sekuat tenaga aku tahan air mata yang mendesak
keluar, “ pergilah, saya melepaskanmu dengan segenap hati dan jiwa saya.
Pergilah, temui kebahagiaanmu sendiri Ayana. Tolong mengerti saya, ini yang
terbaik yang bisa kita lalui.”
Kau
merengkuhku ke dalam pelukkanmu. Peluk yang pernah dan akan selalu menjadi
favoritku. Dalam peluk itu aku tertawa dan bahagia dan dalam peluk itu juga aku
berurai air mata kesedihan karena harus berpisah denganmu.
Aku
menghitung kapan tepatnya kan kau lepas peluk ini. Kapan tepatnya kau dan aku
berpisah?
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua
belas
Tiga
be....
Kau
melepaskan ku, menjauhkanku dari tempat nyaman yang selalu kudambakan. Ini
akhir semuanya pikirku. Ini akhir kisah cintaku. Ini akhir kisah cinta kita,
sayang.
“Selamat
tinggal Ayana, semoga kau bahagia.”
No comments:
Post a Comment