Pages

Peluk

Monday, 29 June 2015

Aku hanya bisa menunduk. Memusatkan perhatianku pada sepasang sepatuusang yang selalu ku pakai. Aku tak mendengarmu, lebih tepatnya berpura-pura tak mendengarkanmu. Aku tak sanggup mengangkat kepalaku hingga mata kita bertemu, hingga ada rasa sakit yang tersalur kembali.
“Ayana,” panggilmu.
Suaramu masih sama seperti apa yang aku tahu. Caramu memanggil namaku juga masih sama, indah dan menyejukkan. Namun aku tetap bergeming, tak ada keinginan untuk menatap mata yang selalu menyejukkan hati itu.
“Ayana,” panggilmu kembali.
Dan kini, aku tidak benar-benar diam menatap sepatuku. Ada bulir hangat yang mengalir lembut di kedua pipiku. Pandanganku mengabur. Aku tak tahu pasti mengapa caramu memanggilku begitu pilu. Apa mungkin sakit yang kita rasakan sama?
Kumohon, jangan sebut lagi namaku karena aku yakin diam ini akan menjadi isak yang paling memilukan yang pernah kita dengar sayang.
“Ayana,” panggilmu untuk ketiga kalinya.
Aku berurai air mata dan suaru tangis yang sejak tadi aku tahan tak dapat lagi terbendung. Inikah musik pengiring perpisahan kita sayang? Begitu pilu dan menyakitkan. Aku tak pernah berpikir musik seperti ini yang akan kudengar di hari dimana kita akan berpisah. Tapi sayang, sejujurnya aku tak pernah berpikir untuk berpisah denganmu.
“Saya tahu ini sulit Ayana. Saya tahu bagaimana sakitnya sebuah perpisahan. Saya tahu bagaimana luka itu membekas Ayana, tapi semenyakitkan apapun itu perpisahaan ini harus kita hadapi,” itulah kalimat terpanjang yang kau ucapkan hari ini.
“Mungkin ini memang jalan terbaik yang bisa kita tempuh. Tuhan punya jalan cerita yang indah untuk kamu maupun untuk saya,” lanjutmu.
Air mataku tidak mengalir lagi. Aku benar-benar hanya bisa terdiam mendengar kalimat yang kau ucapkan barusan. Pikiranku melayang, berkelana mencari serpihan-serpihan ingatan mengapa kau dan aku menjadi seperti ini.
Cinta. Itu hal yang sama-sama kita rasa. Hal yang sama-sama kita yakini adanya. Karena cinta, aku dan dirimu berada dalam satu ikatan yang paling membahagiakan. Karena cinta pulalah, aku dan dirimu berdiri disini saling memandang dengan tatapan terluka. Andai saja semuanya dapat berubah, seandainya waktu dapat kuputar waktu hingga bukan ini jalan yang perlu kita tempuh.
“Ayana,” kau mulai menggenggam tanganku, sekuat tenaga aku tahan air mata yang mendesak keluar, “ pergilah, saya melepaskanmu dengan segenap hati dan jiwa saya. Pergilah, temui kebahagiaanmu sendiri Ayana. Tolong mengerti saya, ini yang terbaik yang bisa kita lalui.”
Kau merengkuhku ke dalam pelukkanmu. Peluk yang pernah dan akan selalu menjadi favoritku. Dalam peluk itu aku tertawa dan bahagia dan dalam peluk itu juga aku berurai air mata kesedihan karena harus berpisah denganmu.
Aku menghitung kapan tepatnya kan kau lepas peluk ini. Kapan tepatnya kau dan aku berpisah?
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua belas
Tiga be....
Kau melepaskan ku, menjauhkanku dari tempat nyaman yang selalu kudambakan. Ini akhir semuanya pikirku. Ini akhir kisah cintaku. Ini akhir kisah cinta kita, sayang.
“Selamat tinggal Ayana, semoga kau bahagia.”

No comments:

Post a Comment

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS