Kepala saya sakit dalam artian kata sebenarnya. Suhu tubuh saya meninggi. Hidung saya tersumbat. Ini adalah hari ke delapan kondisi tubuh saya menurun dan tidak kunjung membaik. Bukan hanya lelah fisik sepertinya tapi pikiran saya pun ikut lelah.
Belum sebulan resmi menjadi sarjana, saya sudah dirongrongi pemikiran kapan saya bekerja, kapan saya berpenghasilan sendiri, kapan saya tidak merepotkan kedua kakak saya, kapan saya benar-benar mandiri dan pertanyaan pertanyaan lainnya. Belum resmi sebulan tapi beban itu terasa berat ditambah pandangan orang yang menilai saya tidak berusaha dan terlalu diam.
Saya berpikir setiap hari. Saya menyusun rencana setiap hari. Apakah perlu saya bercerita pada dunia akan setiap detail rencana saya? Tentu saja tidak. Sejak dulu saya sangat malas bercerita rencana yang saya susun kepada siapapun termasuk kepada keluarga saya. Salah satu alasan saya tidak menceritakannya karena saya khawatir rencana itu tidak berjalan dan justru akan menjadi penilaian buruk bagi saya. Belum lagi manusia-manusia yang selalu berpikir paling benar, ketika saya bercerita rencana hidup saya muncullah komentar yang kadang terkesan sangat sok tahu akan rencana itu. Ya, dan saya pikir tidak ada salahnya menyimpan rencana masa depan untuk diri sendiri.
Hari Minggu ini, sebuah panggilan masuk dari Ibu membuat saya (akhirnya) bercerita dengan detail bagaimana rencana yang saya miliki kepada beliau. Saya pikir beliau berhak tahu secara detail. Setidaknya untuk menghindari kekhawatiran beliau yang tidak bisa menemani, menjaga dan mengurus saya selama ini.
Panggilan suara pagi ini terasa sendu. Entah karena saya dan Ibu sama-sama sedang sakit, entah karena cuaca yang dingin, entah karena hormon saya sedang tidak stabil, entah karena saya sedang rindu, ataupun entah karena saya akhirnya butuh menangis. Tangisan itu menyedihkan tapi menyembuhkan secara bersamaan. Tangisan pagi ini membuat saya sadar ada seseorang yang selalu mendoakan saya, mendukung saya dan percaya bahwa saya mampu. Ketika beberapa orang mengernyitkan dahi saat mendengar keinginan dan cita-cita saya, Ibu dengan bangga berkata
"Kamu itu perempuan tapi punya cita-cita yang tinggi. Mamah selalu mendoakan semoga semuanya lancar."
Kalimat itu merangkum semuanya. Rasa bangga, kecemasan dan juga harapan. Saya tahu jalanan itu terjal dan jalanan itu gelap tapi setidaknya saya masih hidup dan punya akal untuk menghadapinya. Ya, semoga saya bisa menghadapinya.