Pages

Agar Tak Mati

Thursday, 27 October 2016

Taken by aroktavia
Temaram lampu mungkin menyembunyikan. Ada kesendirian yang tak dipahami hadir. Ada riuh yang tak didengar oleh orang lain. Ada sakit tertahan yang tak bisa dirasa orang.

Sinar matahari mungkin menyebalkan. Ramai yang tak peduli kepedihan. Peluh hadir disusul baunya yang menyebalkan. Hiruk pikuk yang lebih ramai dari yang kau bayangkan.

Mungkin, mungkin memang bersembunyi memberi ketenangan. Menyimpan semua seolah senang. Namun bagiku (dan seharusnya bagimu) tidak.

Adalah hadir dikeramaian yang aku tahu akan kau lakukan. Sudah seharusnya memang kau lakukan. Sengatan matahari itu tak akan membuat lukamu padam. Biarkan dia abadi di sana dan berjalanlah bersamanya.

Adalah tersenyum, hal yang ingin kulihat darimu. Diiringi keberanian yang mampu mengalahkan taifun. Dibawa jejak kaki yang melaju meski luka menyayat perih.

Untuk sekali ini saja, dengarkan aku.

Berjalanlah sebagaimana mestinya.
Berjalanlah sebagaimana engkau biasanya.
Berjalan dan berjalanlah.
Dan jika itu terasa sulit, merangkak agar tidak mati dirimu dimakan luka.
Bergerak meski semua terasa gelap dan tidak nyata.
Bergerak agar kau tak mati.
Bergerak untuk hati yang mendoakanmu di sini.

Bianglala, Pendar Lampu, dan Dia

Monday, 10 October 2016

Taken by aroktavia
Momentum itu hadir hanya sekali tanpa bisa diulang. Sebagaimana menyaksikan langit senja di atas bianglala. Satu putaran, warna biru langit itu mulai berubah. Dua putaran, semburat oranye itu tampak malu-malu memunculkan warnanya di tengah keramaian. Tiga putaran, semburat oranye itu kembali sembunyi memilih untuk pulang bersama kesunyian. Empat putaran, kekosongan itu hadir meninggalkan momentum yang tercipta. Kekosongan yang hadir setelahnya tinggal menjadi kenangan.

Momentum hadir berulang kali dalam hidup dan pergi juga berulang kali. Tidak ada yang abadi. Tidak ada yang pasti dan tidak ada yang konstan. Bianglala itu terus berputar. Keindahan diperolah dari pergerakannya. Bukan diamnya yang sepi. 

Katanya, bianglala lebih cocok dinikmati menjelang senja. Keindahan akan lebih terasa katanya. Lalu aku mencobanya. Menaiki bianglala saat senja. Sayang, bukan semburat oranye yang membuatku terpana kala itu. Melainkan pendar lampu yang hadir pada momentum itu.

Taken by aroktavia
Cahaya lampu dari perumahan, gedung-gedung, maupun jalanan menjadi hal biasa yang hadir setiap hari. Mungkin menjadi hal biasa yang terlewatkan. Mungkin juga menjadi hal tak penting karena terlalu sering hadir. Namun, pada momen tertentu, cahaya yang berpendar dari lampu itu memberikan sihir yang ajaib, yang mungkin menyentuh dan menenangkan hati.

Aku pun percaya, seperti itu pula lah manusia berinteraksi. Pada momen tertentu seseorang akan terasa spesial. Hadir bagai pendar lampu yang temaram di kegelapan. Mengubah yang tesingkirkan menjadi punya tempat spesial. Sebagaimana momentum yang tercipta saat menaiki bianglala dan kenangan yang melekat setelahnya.


Minggu Sendu

Sunday, 9 October 2016

Taken by aroktavia

Kepala saya sakit dalam artian kata sebenarnya. Suhu tubuh saya meninggi. Hidung saya tersumbat. Ini adalah hari ke delapan kondisi tubuh saya menurun dan tidak kunjung membaik.  Bukan hanya lelah fisik sepertinya tapi pikiran saya pun ikut lelah.

Belum sebulan resmi menjadi sarjana, saya sudah dirongrongi pemikiran kapan saya bekerja, kapan saya berpenghasilan sendiri, kapan saya tidak merepotkan kedua kakak saya, kapan saya benar-benar mandiri dan pertanyaan pertanyaan lainnya. Belum resmi sebulan tapi beban itu terasa berat ditambah pandangan orang yang menilai saya tidak berusaha dan terlalu diam.

Saya berpikir setiap hari. Saya menyusun rencana setiap hari. Apakah perlu saya bercerita pada dunia akan setiap detail rencana saya? Tentu saja tidak. Sejak dulu saya sangat malas bercerita rencana yang saya susun kepada siapapun termasuk kepada keluarga saya. Salah satu alasan saya tidak menceritakannya karena saya khawatir rencana itu tidak berjalan dan justru akan menjadi penilaian buruk bagi saya. Belum lagi manusia-manusia yang selalu berpikir paling benar, ketika saya bercerita rencana hidup saya muncullah komentar yang kadang terkesan sangat sok tahu akan rencana itu. Ya, dan saya pikir tidak ada salahnya menyimpan rencana masa depan untuk diri sendiri.

Hari Minggu ini, sebuah panggilan masuk dari Ibu membuat saya (akhirnya) bercerita dengan detail bagaimana rencana yang saya miliki kepada beliau. Saya pikir beliau berhak tahu secara detail. Setidaknya untuk menghindari kekhawatiran beliau yang tidak bisa menemani, menjaga dan mengurus saya selama ini.

Panggilan suara pagi ini terasa sendu. Entah karena saya dan Ibu sama-sama sedang sakit, entah karena cuaca yang dingin, entah karena hormon saya sedang tidak stabil, entah karena saya sedang rindu, ataupun entah karena saya akhirnya butuh menangis. Tangisan itu menyedihkan tapi menyembuhkan secara bersamaan. Tangisan pagi ini membuat saya sadar ada seseorang yang selalu mendoakan saya, mendukung saya dan percaya bahwa saya mampu. Ketika beberapa orang mengernyitkan dahi saat mendengar keinginan dan cita-cita saya, Ibu dengan bangga berkata
"Kamu itu perempuan tapi punya cita-cita yang tinggi. Mamah selalu mendoakan semoga semuanya lancar."

Kalimat itu merangkum semuanya. Rasa bangga, kecemasan dan juga harapan. Saya tahu jalanan itu terjal dan jalanan itu gelap tapi setidaknya saya masih hidup dan punya akal untuk menghadapinya.  Ya, semoga saya bisa menghadapinya.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS