Pages

Aku Lelah Ibu

Tuesday 31 May 2016

Aku lelah Ibu...
Berjalan sendirian di malam hari yang gelap
Menerka jalan mana yang harus aku pilih
Bersama rasa takut akan terjerembab pada kegagalan
Menjadi buta untuk sesaat

Aku lelah Ibu...
Kembali pulang dengan senyuman manis
Mengalahkan manisnya teh manis yang sering kau buatkan
Mengaburkan pahitnya teh yang kau bilang asli itu

Aku lelah Ibu...
Menangis sendiri di pojok kamar
Meredam suara jeritan pilu
Menyiapkan sendok dingin agar mata sembab ini tak kau lihat

Aku lelah Ibu...
Biarkan aku kembali pada diriku yang berusia sepuluh tahun
Dekap aku penuh kehangatan saat tangis tak dapat di tahan
Biarkan aku kembali pada diriku tanpa kepalsuan
Izinkan aku terlelap dalam pangkuanmu Ibu
Karena aku lelah menjadi diriku saat ini

Aku lelah menjadi dirku yang dewasa

Her Bouquet

Sunday 22 May 2016

 pic source : tumblr

Tangan kecil itu terus menggenggam kuat sebuah buket bunga matahari. Kaki rampingnya terus menerus berlari. Berusaha mencapai kecepatan tertingginya. Bibir yang tak lupa dipoles gincu itu terus merapalkan mantra, yang sebenarnya dia ragu akan terwujud.

“Jangan telat, jangan telat, jangan telat,” mantra itu terus menerus diucapkan. “Lebih cepat, lebih cepat, lebih cepat.”

Dia harus bisa berlari lebih cepat. Tinggal lantai ini dan beberapa anak tangga lagi dia bisa mencapainya. Menemui seseorang yang sangat spesial baginya dan hadir saat momen penting orang itu.

Gadis itu merutuki dirinya sendiri untuk berlari di siang hari yang panas. Seandainya dia punya kendaraan seandainya dia masih punya cukup uang untuk menaiki ojek, dia tidak akan bermandikan keringat di siang hari seperti ini. Sayangnya gedung fakultas kedokteran memang cukup jauh dari gedung dia menuntut ilmu. 

Tak terasa, mantra itu benar adanya. Dia sampai di lantai 4 gedung kedokteran. Mulai mencari dimana ruang sidang itu berada. Dia mulai melihat segerombolan orang, mahasiswa lebih tepatnya, berpakaian rapih dan menarik. Ia menarik nafas panjang seraya merasakan peluh menetes di berbagai bagian tubuhnya. Rasa-rasanya gadis itu menjadi ragu untuk bertemu sang pujaan hati. Badanku pasti bau, pikirnya. 

Ia melihat lagi apa yang dibawanya sejak tadi, sebuah buket bunga matahari. Untung saja penampilan buket itu tidak sehancur dirinya. Ingatannya kembali pada hari itu dimana dia menghabiskan waktu malam bersama orang yang sangat disayanginya.

“Dinar, kosongkan waktumu minggu depan ya,” kata laki-laki itu.

Dinar memandang lelaki di sampingnya dengan penuh kebingungan, “Untuk apa?”

“Minggu depan, aku akan segera mendapatkan gelar sarjana kedokteran.”

“Kamu sidang?” Dinar tak kuasa menahan rasa bahagianya.

“Doain aja ya, jangan lupa kalau dateng bawa balon, bunga atau apapun itu. Kamu datang aja aku udah senang kok.”

Laki-laki itu tersenyum seraya dibalas Dinar dengan senyuman yang tak kalah sumringah.

“Siap bos! Aku pasti datang,” balasnya kemudian.

Dinar tahu dirinya sudah berjanji untuk datang. Dia harus bertemu dengan lelaki itu. Dia harus memastikan dirinya hadir di momen penting orang yang dia sayangi. Dia ingin dirinya selalu ada dan dianggap ada.

Nafas panjang dihelanya. Dia mencoba menenangkan diri. Mencoba mengontrol rasa tidak percaya dirinya. Kalau dipikir-pikir siap yang tidak menciut membandingkan penampilan dirinya yang (amat) berantakan dengan mahasiswi kedokteran yang rapih dan wangi. 

Ayolah Dinar, kamu udah jauh-jauh kesini masa mau mundur gitu aja. Pikirnya.

Langkah kaki Dinar berputar. Dia tak bisa tampil seperti ini. Terlalu berantakan, terlalu jelek dan terlalu bau. Dia mencoba menanyai beberapa orang yang dilewatinya.

“Maaf Kak, toilet ada dimana ya?” tanyanya sopan.

“Kamu jalan sampai ujung terus nanti belok kiri.”

“Makasih kak,” kalimat itu menjadi penutup bagi Dinar. Dia butuh toilet sekarang!

Dinar mematut dirinya di depan cermin yang sangat luas. Ia memperhatikan sekeliling kamar mandi yang sepi. Kamar mandi sangat bersih dan harum untuk ukuran toilet kampus. Mungkin karena ini gedung fakultas kedokteran yang dibincangkan “mahal” itu, sangat wajar menemui fasilitas yang seimbang. 

Puas mengamati, Dinar kembali fokus kepada dirinya dan alasan dia ada di gedung ini, gedung yang jauh dibandingkan dengan gedung tempatnya menuntut ilmu. Ia tak boleh menyia-nyiakan waktunya. Hanya selangkah lagi dan dia hanya perlu memberikan buket bunga di tangannya pada lelaki itu.
Seharusnya ini mudah. Seharusnya ini bisa Dinar lakukan dengan singkat tanpa banyak berpikir. Seharusnya memang seperti itu, seandainya saja Dinar tidak pernah berharap lebih pada lelaki itu, teman sekaligus orang yang sangat dia sayangi.

“Buat apa sih? Mau bikin dia terkesan?” tanya gadis itu pada sosok yang ada di dalam sana, pantulan dirinya. “Sadar Dinar, sadar, dimana posisi kamu seharusnya!”

Dinar selalu sadar dimana posisinya berada. Seseorang yang dianggap tidak lebih dari sekedar teman oleh orang yang dicintainya. Seseorang yang harus menahan diri pada batasan yang tidak pernah jelas dan kabur adanya.

I’ll give it as a friend. Just a friend.

Ia melangkahkan kakinya dengan mantap keluar dari kamar mandi itu. Peluh yang sedari tadi membanjiri mulai menguap. Debaran jantungnya tidak sekencang saat ia sampai di gedung ini. Ia mulai bisa mengontrol dirinya. Ya, dia harus bisa mengontrol dirinya.

Dinar memastikan waktu, dia yakin lelaki itu seharusnya sudah keluar dari ruang sidang sejak lima belas menit yang lalu. Perlahan, langkah demi langkah, Dinar bisa melihat kerumunan orang yang jauh lebih ramai dari tadi. Lelaki jangkung yang dipujanya ada di sana. Bersama dengan teman-temannya yang lain.

Satu langkah Dinar berjalan.

Lelaki itu dipasangkan sebuah mahkota yang terbuat dari plastik. Sudah biasa adanya tradisi – dari sesama mahasiswa- penobatan sebagai raja setelah mahasiswa di kampus Dinar mampu menyelesaikan studinya. Dinar tersenyum melihat mahkota itu bertengger dengan gagah di kepalan sosok itu.

Tiga langkah Dinar terus berjalan.

Sosok itu kini sedang berganti gaya untuk mengabadikan momen terpenting dalam hidupnya. Berganti pasangan untuk berfoto. Lagi-lagi Dinar tersenyum, seolah merasakan kebahagian lelaki itu. Menikmati setiap momen yang ada.

Enam langkah Dinar mendekat.

Lelaki itu sempat melihat ke arah Dinar. Tersenyum lebar dan kemudian teralihkan saat seorang perempuan berparas cantik mengampirinya dan memeluknya erat. Dinar melihat lelaki itu tersenyum lebar. Namun kali ini, dia tak bisa ikut tersenyum melihatnya.

Langkah ketujuh yang tak pernah dibuatnya.

Dinar berbalik arah. Menjauh dari keramaian. Menjauh dari pusaran kehancuran dirinya. Ia tahu hatinya terlalu sakit untuk ada di sini. Hatinya terlalu naif untuk mengakui bahwa dirinya tak lebih dari sekedar teman.

Buket yang digenggamnya kuat dari tadi harus berakhir miris pada tempat sampah. Lelaki itu tak akan pernah menerima bunga itu sebagaimana dia tak akan pernah menerima perasaaan Dinar kepadanya.

---

Read My Mind

Monday 9 May 2016

I owe this picture here
Sering kali saya mengira bahwa orang bisa dengan mudah membaca pikiran, memahami pola pikir dan pendapat yang saya ungkapkan ataupun ingin ungkapan. Namun, saya terjebak pada pemikiran khayalan. Seluruh orang yang saya temui kesulitan untuk “membaca pikiran” saya. Justru mereka sering sekali menyalah artikan pemikiran saya terutama bagi mereka yang bertemu saya hanya pada satu dua kesempatan.

Membaca pikiran yang maksudkan di sini bukanlah sesuatu kemampuan luar biasa yang mungkin dimiliki seseorang untuk membaca apa yang dipikirkan lawan bicara. Kalau ada yang seperti itu, saya juga akan sangat ketakutan (ya, karena terlalu banyak pemikiran aneh di otak saya). Saya hanya berbicara mengenai individu dan individu lain yang mencoba untuk saling memahami apa yang diungkapkan lawan bicaranya tanpa perlu memberikan judgement atau penilaian yang terlalu dini.

Mari kita lihat keadaan di sekitar kita saat ini. Banyak masalah dan juga fenomena yang hangat dibicarakan masyarakat. Contohnya saja fenomena LGBT. Fenomena ini telah menjadi buah bibir di masyarakat luas sejak beberapa bulan lalu terutama setelah Amerika melegalkan pernihakan sesama jenis. Banyak opini yang menyeruak ke permukaan mengenai LGBT. Tentunya ada yang pro dan ada yang kontra.
Saya menemukan beberapa pemikiran menarik mengenai LGBT di platform media sosial ask.fm. Ada satu pengguna ask.fm yang menyatakan bahwa perilaku LGBT memang dilarang agama dan dia tidak mendukung perilaku LGBT akan tetapi sebagai sesama manusia yang memiliki hak sama di dunia ini, pengguna tersebut menyatakan bahwa dia akan mendukung setiap individu yang menyatakan LGBT. Lebih mendukung ke arah kebebasan memilih dan berpendapat lebih tepat.

Beberapa saat setelah pengguna tersebut menyatakan pendapatnya, banyak pertanyaan masuk berisikan komentar negatif. Bahkan sampai ada yang mengatainya kafir dan homoseksual (karena mendukung orang-orang LGBT). Padahal menurut saya, jawaban pengguna tersebut di ask.fm dengan jelas menunjukan bahwa dia memang mengakui bahwa perilaku LGBT salah. Lantas mengapa dia harus dikatai dan dicerca secara kasar?

Menurut saya, ini yang sering terjadi di masyarakat. Pola berpikir yang terlalu terburu-buru tanpa mendalami dan melihat sisi lain. Jika saya bisa katakan, masyarakat Indonesia, umumnya memiliki pemikiran sempit. Arahan dalam menentukan keputusan hanya fokus pada satu dua arah sedangkan arah lainnya masih sangat banyak. Padahal banyak sekali faktor yang perlu dilihat dalam menilai suatu kejadian, perilaku dan juga pendapat.

Penilaian yang sepihak di masyarakat bisa membuat tiap-tiap individu takut mengungkapkan pendapat. Saya termasuk di dalamnya. Setiap kali saya bersama keluarga ataupun teman-teman saya benar-benar berpikir berulang kali untuk mengungkapkan pendapat. Pernah saya mencoba mengungkapkan pemikiran saya yang sedikit radikal, memang tidak sampai dikatai memang, hanya saja lawan bicara saya terdiam dan tidak mau meneruskan pembicaraan tersebut. Apalagi ketika ekspresi mereka mulai menunjukan ketidaksukaan atau keanehan akan omongan saya. Saat itu juga saya akan bilang, “ya sudah”. Beres, saya tidak akan melanjutkannya lagi.

Keadaan seperti ini akan sangat merugikan. Dampak besarnya bisa saja sampai pada fase tidak berkembangnya ilmu pengetahuan baru karena pola pikir yang terlalu sempit.  Setiap individu akan kehilangan keberanian untuk mengungkapkan pendapat tanpa perlu diberi label orang individu lain. Saya pun bukan orang terbaik yang bisa kalian temukan dalam masalah seperti ini. Secara tidak sadar kadang saya sudah menganiaya beberapa orang karena memberinya label. Saya hanya mencoba memulai dan belajar untuk mengenali dan memahami sisi lain setiap hal. Semoga banyak gerakan positif yang dapat mengubah pola pikir masyarakat menjadi lebih baik entah itu kampanye media sosial maupun komunitas diskusi. Mari menjadi lebih baik!
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS