|
pic source : tumblr |
Tangan kecil itu terus menggenggam kuat sebuah buket bunga matahari. Kaki rampingnya terus menerus berlari. Berusaha mencapai kecepatan tertingginya. Bibir yang tak lupa dipoles gincu itu terus merapalkan mantra, yang sebenarnya dia ragu akan terwujud.
“Jangan telat, jangan telat, jangan telat,” mantra itu terus menerus diucapkan. “Lebih cepat, lebih cepat, lebih cepat.”
Dia harus bisa berlari lebih cepat. Tinggal lantai ini dan beberapa anak tangga lagi dia bisa mencapainya. Menemui seseorang yang sangat spesial baginya dan hadir saat momen penting orang itu.
Gadis itu merutuki dirinya sendiri untuk berlari di siang hari yang panas. Seandainya dia punya kendaraan seandainya dia masih punya cukup uang untuk menaiki ojek, dia tidak akan bermandikan keringat di siang hari seperti ini. Sayangnya gedung fakultas kedokteran memang cukup jauh dari gedung dia menuntut ilmu.
Tak terasa, mantra itu benar adanya. Dia sampai di lantai 4 gedung kedokteran. Mulai mencari dimana ruang sidang itu berada. Dia mulai melihat segerombolan orang, mahasiswa lebih tepatnya, berpakaian rapih dan menarik. Ia menarik nafas panjang seraya merasakan peluh menetes di berbagai bagian tubuhnya. Rasa-rasanya gadis itu menjadi ragu untuk bertemu sang pujaan hati. Badanku pasti bau, pikirnya.
Ia melihat lagi apa yang dibawanya sejak tadi, sebuah buket bunga matahari. Untung saja penampilan buket itu tidak sehancur dirinya. Ingatannya kembali pada hari itu dimana dia menghabiskan waktu malam bersama orang yang sangat disayanginya.
“Dinar, kosongkan waktumu minggu depan ya,” kata laki-laki itu.
Dinar memandang lelaki di sampingnya dengan penuh kebingungan, “Untuk apa?”
“Minggu depan, aku akan segera mendapatkan gelar sarjana kedokteran.”
“Kamu sidang?” Dinar tak kuasa menahan rasa bahagianya.
“Doain aja ya, jangan lupa kalau dateng bawa balon, bunga atau apapun itu. Kamu datang aja aku udah senang kok.”
Laki-laki itu tersenyum seraya dibalas Dinar dengan senyuman yang tak kalah sumringah.
“Siap bos! Aku pasti datang,” balasnya kemudian.
Dinar tahu dirinya sudah berjanji untuk datang. Dia harus bertemu dengan lelaki itu. Dia harus memastikan dirinya hadir di momen penting orang yang dia sayangi. Dia ingin dirinya selalu ada dan dianggap ada.
Nafas panjang dihelanya. Dia mencoba menenangkan diri. Mencoba mengontrol rasa tidak percaya dirinya. Kalau dipikir-pikir siap yang tidak menciut membandingkan penampilan dirinya yang (amat) berantakan dengan mahasiswi kedokteran yang rapih dan wangi.
Ayolah Dinar, kamu udah jauh-jauh kesini masa mau mundur gitu aja. Pikirnya.
Langkah kaki Dinar berputar. Dia tak bisa tampil seperti ini. Terlalu berantakan, terlalu jelek dan terlalu bau. Dia mencoba menanyai beberapa orang yang dilewatinya.
“Maaf Kak, toilet ada dimana ya?” tanyanya sopan.
“Kamu jalan sampai ujung terus nanti belok kiri.”
“Makasih kak,” kalimat itu menjadi penutup bagi Dinar. Dia butuh toilet sekarang!
Dinar mematut dirinya di depan cermin yang sangat luas. Ia memperhatikan sekeliling kamar mandi yang sepi. Kamar mandi sangat bersih dan harum untuk ukuran toilet kampus. Mungkin karena ini gedung fakultas kedokteran yang dibincangkan “mahal” itu, sangat wajar menemui fasilitas yang seimbang.
Puas mengamati, Dinar kembali fokus kepada dirinya dan alasan dia ada di gedung ini, gedung yang jauh dibandingkan dengan gedung tempatnya menuntut ilmu. Ia tak boleh menyia-nyiakan waktunya. Hanya selangkah lagi dan dia hanya perlu memberikan buket bunga di tangannya pada lelaki itu.
Seharusnya ini mudah. Seharusnya ini bisa Dinar lakukan dengan singkat tanpa banyak berpikir. Seharusnya memang seperti itu, seandainya saja Dinar tidak pernah berharap lebih pada lelaki itu, teman sekaligus orang yang sangat dia sayangi.
“Buat apa sih? Mau bikin dia terkesan?” tanya gadis itu pada sosok yang ada di dalam sana, pantulan dirinya. “Sadar Dinar, sadar, dimana posisi kamu seharusnya!”
Dinar selalu sadar dimana posisinya berada. Seseorang yang dianggap tidak lebih dari sekedar teman oleh orang yang dicintainya. Seseorang yang harus menahan diri pada batasan yang tidak pernah jelas dan kabur adanya.
“I’ll give it as a friend. Just a friend.”
Ia melangkahkan kakinya dengan mantap keluar dari kamar mandi itu. Peluh yang sedari tadi membanjiri mulai menguap. Debaran jantungnya tidak sekencang saat ia sampai di gedung ini. Ia mulai bisa mengontrol dirinya. Ya, dia harus bisa mengontrol dirinya.
Dinar memastikan waktu, dia yakin lelaki itu seharusnya sudah keluar dari ruang sidang sejak lima belas menit yang lalu. Perlahan, langkah demi langkah, Dinar bisa melihat kerumunan orang yang jauh lebih ramai dari tadi. Lelaki jangkung yang dipujanya ada di sana. Bersama dengan teman-temannya yang lain.
Satu langkah Dinar berjalan.
Lelaki itu dipasangkan sebuah mahkota yang terbuat dari plastik. Sudah biasa adanya tradisi – dari sesama mahasiswa- penobatan sebagai raja setelah mahasiswa di kampus Dinar mampu menyelesaikan studinya. Dinar tersenyum melihat mahkota itu bertengger dengan gagah di kepalan sosok itu.
Tiga langkah Dinar terus berjalan.
Sosok itu kini sedang berganti gaya untuk mengabadikan momen terpenting dalam hidupnya. Berganti pasangan untuk berfoto. Lagi-lagi Dinar tersenyum, seolah merasakan kebahagian lelaki itu. Menikmati setiap momen yang ada.
Enam langkah Dinar mendekat.
Lelaki itu sempat melihat ke arah Dinar. Tersenyum lebar dan kemudian teralihkan saat seorang perempuan berparas cantik mengampirinya dan memeluknya erat. Dinar melihat lelaki itu tersenyum lebar. Namun kali ini, dia tak bisa ikut tersenyum melihatnya.
Langkah ketujuh yang tak pernah dibuatnya.
Dinar berbalik arah. Menjauh dari keramaian. Menjauh dari pusaran kehancuran dirinya. Ia tahu hatinya terlalu sakit untuk ada di sini. Hatinya terlalu naif untuk mengakui bahwa dirinya tak lebih dari sekedar teman.
Buket yang digenggamnya kuat dari tadi harus berakhir miris pada tempat sampah. Lelaki itu tak akan pernah menerima bunga itu sebagaimana dia tak akan pernah menerima perasaaan Dinar kepadanya.
---