Pages

Seharusnya

Tuesday, 20 December 2016

Akhirnya saya menulis ini.
Setengah mati menahannya berkeliaran di otak, akhirnya saya benar-benar menuliskan ini.
Fase itu akhirnya datang. Fase dimana yang abu terasa lebih jelas. Fase dimana saya tahu posisi saya.
Seharusnya saya senang. Akhirnya saya tidak perlu berdebat dengan diri sendiri lagi. Tidak perlu memilih antara tinggal atau pergi. Sekarang saya tahu dengan jelas mana yang akan saya pilih.
Momen saat saya merasa lega mengetahui semuanya namun juga sangat ingin menangis saat tahu jawabannya.
I’m just a friend he said.
Seharusnya tidak ada yang salah dengan kalimat itu. Justru itu jawaban yang selalu saya tanyakan sejak lama. Sialnya, diri saya merasa sedih. Pada saat akhirnya saya mengetahui jawaban itu, saya merasa sangat sedih.
Saya tidak ingin berlarut. Manusia datang dan pergi bukan? Kenangan pun begitu.
Seharusnya begitu.
Seharusnya.
Seharusnya.
Bahkan seharusnya saya tidak menulis ini. Tidak akan ada yang berubah. Tidak pula orang-orang akan mengerti dengan apa yang saya tulis. Namun itu seharusnya.
Karena saya yang sekarang memilih segala sesuatu yang berlawanan dengan itu. Saya tidak tersenyum. Saya menangis. Saya merasa bodoh. Saya tidak senang. Saya terlarut. Saya menulis ini.
See, pada akhirnya saya memang seperti ini. Melewati batas yang seharusnya dijaga, bahkan seharusnya dihindari. Mungkin tulisan ini tak akan pernah ada jika hari itu saya tidak menuruti sesuatu disebut kata hati. Mungkin semuanya akan baik-baik saja, jika bukan kepada dia saya berlari. Sayangnya semua sudah terjadi dan saya tidak baik-baik saja. Tidak untuk sekarang.


 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS