Setiap manusia pasti memiliki ego. Saya juga salah satunya. Ego itu tidak mungkin hilang namun menurut saya ego bisa diredam dan diselaraskan. Perihal ego manusia, mari kita bertanya sesuatu pada diri kita. Seberapa sering kita menolong orang dengan anggapan bahwa itu adalah tabungan di masa yang akan datang?
Sering kali kita diajari untuk menolong sesama tanpa pamrih dan imbalan. Mereka mengajari agar kita menolong karena mampu. Namun tak lepas juga ada sebuah iming-iming yang turut diterapkan pada kita sejak kecil.
“Bantulah dia, tolonglah dia. Barangkali nanti saat kamu membutuhkan pertolongan, dia akan membantu.”
Sebagian besar dari kita diajarkan dan menerapkan pemikiran di atas. Saya dulu berpikir, lantas untuk apa diajarkan menolong dengan ikhlas jika pada akhirnya berharap untuk kembali ditolong? Tanpa pamrih dan imbalan itu seolah omong kosong belaka. Kebaikan yang diajarkan seolah kontradiktif.
Rasa yang tidak tenang menghampiri saya cukup lama. Saya bertanya-tanya lantas untuk apa saya menolong? Saya tidak ingin imbalan dan saya tidak ingin menolong agar ditolong. Saat itu saya tidak tahu tujuan apa yang ingin saya capai saat menolong seseorang. Namun apakah lantas saya berhenti menolong? Jawabannya tidak. Saya pun tidak tenang saat saya mampu tetapi tidak menolong orang lain. Ada perasaan senang saat membantu orang lain dan mengoreskan senyuman di wajahnya.
Entah bagaimana prosesnya (saya tidak begitu ingat rincinya), sebuah pemikiran itu datang. Saya mengingat kembali bahwa seseorang di agama saya selalu diajarkan untuk bersyukur. Berdoa bukan hanya untuk meminta tapi juga berterima kasih kepada yang Maha Kuasa. Saya mencoba memahaminya dengan baik. Rasa syukur akan terasa tidak bermakna apabila hanya terucap dari bibir atas perintah logika dan bukan karena hati yang merasa lega. Rasa syukur itu perlu diimplementasikan dan menurut saya menolong adalah sebuah tindak nyata dari rasa syukur kita kepada Sang Pencipta. Kepandaian, kekuatan, keahlian khusus, harta, dan waktu yang dimiliki seseorang akan terasa disyukuri saat dibagi.
Menerapkan prinsip menolong bukan untuk ditolong menjadi penting. Kenapa? Karena ketika seseorang berharap orang yang ditolong mampu menolongnya dikemudian hari namun berakhir tidak sesuai ekspektasi, dirinya sendiri yang akan merugi. Dia akan mengungkit kebaikannya, dia akan menjelekkan orang itu karena tidak tahu balas budi, dia akan merasa dikhianati dan hal-hal lain yang mungkin terlintas dipikiran seseorang saat kecewa. Sayang sekali jika kita masih menolong seseorang karena ingin dibantu kemudian hari.
Ya, saya bukan ahli ataupun pemberi motivasi. Saya mungkin terkesan menggurui tetapi saya ingin mengajak siapapun yang membaca ini untuk mengubah sudut pandang yang mungkin terlalu kuat ditanamkan. Katanya (iya bukan kata saya), kalau hati kita ikhlas niscaya hati kita akan lebih tenang. So, mari bersama merasakan nikmatnya bersyukur melalui uluran tangan kepada yang lain. Mari mencari sedikit ketenangan di antara hiruk pikuknya dunia melalui menolong. Semoga siapapun yang menolong dengan ikhlas (benar-benar ikhlas ya :p) mendapatkan ketenangan yang lebih banyak di hatinya!