Janitra, itu namaku. Sayangnya aku tak
pernah benar-benar dipanggil Janitra. Semua orang di sekelilingku memanggilku
Ita. Katanya, Janitra terlalu bagus untuk seseorang yang tak bisa berbicara
seperti aku.
Begitupun dengan Bapak, dia bilang tak
akan pernah memanggilku Janitra lagi. Dia bilang nama itu tidak baik. Aneh saja
setiap kali aku mendengarkan alasan Bapak karena setahuku dia jugalah pemberi
nama “aneh” ini. Bapak bilang mungkin nama itu mengandung kutukan (kutukan
bahwa aku bisu mungkin). Aku benar-benar tak memahaminya sampai waktu itu
aku menemukan Bapak menangis tersedu-sedu di kamarnya.
"Janit, mengapa kamu tak kembali ke
desa ini. Tega kamu Janit meninggalkan aku sendiri dengan anak kita.
Meninggalkan aku dalam kesengsaraan ini. Mengapa kamu setega ini Janit?"
ujar Bapak dalam tangisnya
Malam itu, dan juga malam-malam
selanjutnya, aku tak pernah bertanya pada Bapak siapa sebenarnya Janit atau
mungkin Janitra. Meski begitu, aku bisa tahu bahwa perempuan bernama Janitra
adalah perempuan yang amat Bapak cintai. Perempuan itu pulalah yang mungkin
telah melahirkan aku.
Berbicara tentang perempuan yang
melahirkanku, seseorang yang seharusnya aku panggil Ibu, sejak kecil aku tak
pernah berjumpa dengannya. Sampai umurku lima belas tahun sekarang ini aku
benar-benar belum pernah melihatnya dan selama itu pula aku hanya hidup bersama
Bapak. Seseorang yang dengan penuh kasih sayang merawat dan membesarkanku
sendirian. Ya, sendirian. Sosok yang lebih kuat dibanding superhero atau
pahlawan manapun.
Terima kasih Tuhan telah melahirkanku di
dunia bersama Bapak karena aku tak terbayang hidup sebagai anak orang lain
dengan keterbatasanku. Aku yang bisu bisa saja dibuang di pinggir jalan dan
berakhir malang menjadi seorang pengemis. Untungnya bersama Bapak, meski dia
memiliki anak yang bisu sepertiku, Ia tak pernah malu. Bapak sangat
menyayangiku walau diterpa kesengsaraan yang sangat menyakitkan.
Namun nyatanya Bapak hanya manusia biasa.
Pernah malam hari itu, sepulang Bapak menarik Nayor, delman khas Sukabumi,
dengan wajah kelelahannya, Bapak memukul wajahku dengan tiba-tiba. Aku lupa
pastinya apa yang Bapak katakan waktu itu. Yang pasti aku ingat hanyalah raut
wajah bapak yang penuh kekecawaan dan amarah. Keesokan harinya Bapak memelukku
erat, menangis dan meminta maaf atas pukulannya padaku. Aku tak pernah tau
penyebab sikap Bapak. Aku selalu bingung ketika berhadapan dengan Bapak. Hangat
tapi seolah tak bisa diraih olehku.
"Ita, jangan lupa belajar! Bapak gak
mau anak Bapak gagal ujian. Setelah kamu lulus nanti, Bapak bakal sekolahin
kamu lagi di SLB deket sini. Cukup Bapak aja yang hidupnya sengsara dan
nelangsa seperti ini. Jangan sampe kamu ikut-ikutan juga!" kata Bapak
padaku.
Seperti biasa aku menjawabnya dengan
sebuah anggukan penuh semangat. Aku bahagia. Bapak tetap menyekolahkanku. Aku
tahu betul bagaimana kondisi kami, ah lebih tepatnya kondisi Bapak. Uang yang
ia dapat dari narik Nayor sehari gak lebih dari seratus ribu. Penghasilan itu
belum dipotong kebutuhan memelihara kuda Bapak. Bapak pernah bilang usaha Nayor
dari tahun ke tahun makin merosot. Bahkan Bapak berniat untuk berhenti jadi
supir Nayor dan beralih menjadi supir angkot.
Apapun yang Bapak lakukan rasanya aku akan
tetap setuju. Guru-guru di sekolahku memang pernah berkata kita harus menjaga
budaya tapi jika kondisi seperti ini Bapak dan aku sekarang ini, apa boleh
dikata. Tak bisa dipungkiri, beralihnya Bapak menjadi supir angkot nantinya
akan membuat Nayor yang beroperasi di Sukabumi berkurang. Lagi-lagi aku hanya
bisa berkata, apa boleh buat. Kami butuh uang untuk hidup dan itulah jalan
keluar tercepat yang bisa Bapak ambil.
"Ita, jika kamu sudah besar nanti,
carilah Ibumu ke Jakarta. Setelah melahirkanmu, dia bilang ingin bekerja di
Jakarta. Cobalah cari dia. Ajaklah dia pulang. Bawa dia kembali bersama kita
Ita," ujar Bapak tiba-tiba.
Aku terkejut mendengar permintaan Bapak
kali ini. Itu pertama kalinya Bapak menyebut-nyebut Ibu di tengah kesibukan
kami. Hal lain yang tak kalah membuatku terkejut ialah permintaan Bapak yang
sangat aneh.
Hanya nama Ibu saja yang aku tahu.
Janitra. Itupun karena nama kita sama. Aku tak pernah tau wajah Ibu. Bapak
bilang semua foto Ibu hilang. Jika bisa digambarkan, Ibu adalah sosok perempuan
yang memiliki wajah cantik khas perempuan jawa. Ibu memang bukan berasal dari
Sukabumi, Ibu merantau dari Solo. Kulitnya berwarna sawo matang. Hidung Ibu
tidak terlalu mancung, sama sepertiku Bapak bilang. Ada satu lagi penciri wajah
Ibu, ada sebuah tahi lalat di atas bibir sebelah kirinya.
Aku tak kunjung menjawab permintaan Bapak.
Bukan aku tak mau bertemu dengan Ibu, tapi kalau boleh jujur aku tak begitu
merindukan Ibu. Bagiku Bapaklah segalanya. Bahkan tanpa Ibupun aku masih bisa
hidup sampai sekarang. Apa aku disebut anak durhaka jika tidak merindukan
Ibu?
Malam ini, aku hanya sendirian di rumah.
Bapak masih narik Nayor. Memang di luar kebiasaannya untuk pulang semalam ini.
Aku khawatir menunggu Bapak yang tak kunjung pulang. Aku takut sesuatu terjadi
kepada Bapak. Terlebih lagi jika Bapak pulang dengan penuh kesedihan. Tak ada
yang bisa aku lakukan jika Bapak telah bersedih. Bapak selalu menyendiri ketika
ia bersedih. Dia lupa bahwa aku, anaknya, ada bersamanya.
Terkadang aku berpikir, apa perlu kutulis
sebuah surat untuk Bapak? Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan pada bapak
dengan penuh harapan Bapak mampu menjawabnya dan mau menjawab semua pertanyaan
yang selama ini kusimpan.
Pagi harinya, Bapak membangunkanku.
Tiba-tiba saja dia memelukku dengan hangat.
"Itaaa, oh Itaaa," panggilnya
dengan isakan tangis.
"Maafin Bapak kamu ini Ita. Maafin
Bapak kalau sering bikin kamu bingung Ita. Bapak cuma gak bisa cerita semuanya
ke kamu Ita. Kalau liat kamu, Bapak selalu keinget Ibumu. Bapak masih gak bisa
lupain Ibumu Ta," lagi-lagi Bapak menangis. Tangisannya kali ini berbeda
tapinya. Setidaknya Bapak tidak menangis sendirian lagi di kamarnya.
Ku ambil kertas dan bolpoin yang terletak
di meja belajarku. Ku tuliskan sesuatu yang ingin aku tanyakan pada Bapak.
Bapak mengambil kertas itu dan membacanya,
"Kenapa Bapak masih nunggu Ibu?"
Suara Bapak sempat tercekat saat
membacanya. Mungkin aku menanyakan sutau yang salah.
Bapak kembali memelukku hangat. Kemudian
duduk di sampingku. Ia berkata "Bapak akan selalu nunggu Ibumu, Ita.
Janitra pasti akan kembali. Semua yang terbang pasti akan mendarat dan semua
yang berlayar pasti akan menepi Ita. Bapak yakin Ibumu pasti kembali. Entah
sendirinya atau harus kita jemput bersama."
Akhirnya aku tahu mengapa Bapak selalu
menunggu Ibu. Mengapa juga ia berikan nama itu, Janitra, kepadaku. Bapak sangat
yakin Ibu pasti kembali. Mungkin keyakinan itu pula yang nantinya akan membawa
Ibu kembali bersama kami di sini.