Pages

Menunggu Janitra

Friday, 9 October 2015


Janitra, itu namaku. Sayangnya aku tak pernah benar-benar dipanggil Janitra. Semua orang di sekelilingku memanggilku Ita. Katanya, Janitra terlalu bagus untuk seseorang yang tak bisa berbicara seperti aku.
Begitupun dengan Bapak, dia bilang tak akan pernah memanggilku Janitra lagi. Dia bilang nama itu tidak baik. Aneh saja setiap kali aku mendengarkan alasan Bapak karena setahuku dia jugalah pemberi nama “aneh” ini. Bapak bilang mungkin nama itu mengandung kutukan (kutukan bahwa aku bisu  mungkin). Aku benar-benar tak memahaminya sampai waktu itu aku menemukan Bapak menangis tersedu-sedu di kamarnya.
"Janit, mengapa kamu tak kembali ke desa ini. Tega kamu Janit meninggalkan aku sendiri dengan anak kita. Meninggalkan aku dalam kesengsaraan ini. Mengapa kamu setega ini Janit?" ujar Bapak dalam tangisnya
Malam itu, dan juga malam-malam selanjutnya, aku tak pernah bertanya pada Bapak siapa sebenarnya Janit atau mungkin Janitra. Meski begitu, aku bisa tahu bahwa perempuan bernama Janitra adalah perempuan yang amat Bapak cintai. Perempuan itu pulalah  yang mungkin telah melahirkan aku.
Berbicara tentang perempuan yang melahirkanku, seseorang yang seharusnya aku panggil Ibu, sejak kecil aku tak pernah berjumpa dengannya. Sampai umurku lima belas tahun sekarang ini aku benar-benar belum pernah melihatnya dan selama itu pula aku hanya hidup bersama Bapak. Seseorang yang dengan penuh kasih sayang merawat dan membesarkanku sendirian. Ya, sendirian. Sosok yang lebih kuat dibanding superhero atau pahlawan manapun.
Terima kasih Tuhan telah melahirkanku di dunia bersama Bapak karena aku tak terbayang hidup sebagai anak orang lain dengan keterbatasanku. Aku yang bisu bisa saja dibuang di pinggir jalan dan berakhir malang menjadi seorang pengemis. Untungnya bersama Bapak, meski dia memiliki anak yang bisu sepertiku, Ia tak pernah malu. Bapak sangat menyayangiku walau diterpa kesengsaraan yang sangat menyakitkan.
Namun nyatanya Bapak hanya manusia biasa. Pernah malam hari itu, sepulang Bapak menarik Nayor, delman khas Sukabumi, dengan wajah kelelahannya, Bapak memukul wajahku dengan tiba-tiba. Aku lupa pastinya apa yang Bapak katakan waktu itu. Yang pasti aku ingat hanyalah raut wajah bapak yang penuh kekecawaan dan amarah. Keesokan harinya Bapak memelukku erat, menangis dan meminta maaf atas pukulannya padaku. Aku tak pernah tau penyebab sikap Bapak. Aku selalu bingung ketika berhadapan dengan Bapak. Hangat tapi seolah tak bisa diraih olehku.
"Ita, jangan lupa belajar! Bapak gak mau anak Bapak gagal ujian. Setelah kamu lulus nanti, Bapak bakal sekolahin kamu lagi di SLB deket sini. Cukup Bapak aja yang hidupnya sengsara dan nelangsa seperti ini. Jangan sampe kamu ikut-ikutan juga!" kata Bapak padaku.
Seperti biasa aku menjawabnya dengan sebuah anggukan penuh semangat. Aku bahagia. Bapak tetap menyekolahkanku. Aku tahu betul bagaimana kondisi kami, ah lebih tepatnya kondisi Bapak. Uang yang ia dapat dari narik Nayor sehari gak lebih dari seratus ribu. Penghasilan itu belum dipotong kebutuhan memelihara kuda Bapak. Bapak pernah bilang usaha Nayor dari tahun ke tahun makin merosot. Bahkan Bapak berniat untuk berhenti jadi supir Nayor dan beralih menjadi supir angkot.
Apapun yang Bapak lakukan rasanya aku akan tetap setuju. Guru-guru di sekolahku memang pernah berkata kita harus menjaga budaya tapi jika kondisi seperti ini Bapak dan aku sekarang ini, apa boleh dikata. Tak bisa dipungkiri, beralihnya Bapak menjadi supir angkot nantinya akan membuat Nayor yang beroperasi di Sukabumi berkurang. Lagi-lagi aku hanya bisa berkata, apa boleh buat. Kami butuh uang untuk hidup dan itulah jalan keluar tercepat yang bisa Bapak ambil.
"Ita, jika kamu sudah besar nanti, carilah Ibumu ke Jakarta. Setelah melahirkanmu, dia bilang ingin bekerja di Jakarta. Cobalah cari dia. Ajaklah dia pulang. Bawa dia kembali bersama kita Ita," ujar Bapak tiba-tiba.
Aku terkejut mendengar permintaan Bapak kali ini. Itu pertama kalinya Bapak menyebut-nyebut Ibu di tengah kesibukan kami. Hal lain yang tak kalah membuatku terkejut ialah permintaan Bapak yang sangat aneh.
Hanya nama Ibu saja yang aku tahu. Janitra. Itupun karena nama kita sama. Aku tak pernah tau wajah Ibu. Bapak bilang semua foto Ibu hilang. Jika bisa digambarkan, Ibu adalah sosok perempuan yang memiliki wajah cantik khas perempuan jawa. Ibu memang bukan berasal dari Sukabumi, Ibu merantau dari Solo. Kulitnya berwarna sawo matang. Hidung Ibu tidak terlalu mancung, sama sepertiku Bapak bilang. Ada satu lagi penciri wajah Ibu, ada sebuah tahi lalat di atas bibir sebelah kirinya.
Aku tak kunjung menjawab permintaan Bapak. Bukan aku tak mau bertemu dengan Ibu, tapi kalau boleh jujur aku tak begitu merindukan Ibu. Bagiku Bapaklah segalanya. Bahkan tanpa Ibupun aku masih bisa hidup sampai sekarang. Apa aku disebut anak durhaka  jika tidak merindukan Ibu?
Malam ini, aku hanya sendirian di rumah. Bapak masih narik Nayor. Memang di luar kebiasaannya untuk pulang semalam ini. Aku khawatir menunggu Bapak yang tak kunjung pulang. Aku takut sesuatu terjadi kepada Bapak. Terlebih lagi jika Bapak pulang dengan penuh kesedihan. Tak ada yang bisa aku lakukan jika Bapak telah bersedih. Bapak selalu menyendiri ketika ia bersedih. Dia lupa bahwa aku, anaknya, ada bersamanya.
Terkadang aku berpikir, apa perlu kutulis sebuah surat untuk Bapak? Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan pada bapak dengan penuh harapan Bapak mampu menjawabnya dan mau menjawab semua pertanyaan yang selama ini kusimpan.
Pagi harinya, Bapak membangunkanku. Tiba-tiba saja dia memelukku dengan hangat.
"Itaaa, oh Itaaa," panggilnya dengan isakan tangis.
"Maafin Bapak kamu ini Ita. Maafin Bapak kalau sering bikin kamu bingung Ita. Bapak cuma gak bisa cerita semuanya ke kamu Ita. Kalau liat kamu, Bapak selalu keinget Ibumu. Bapak masih gak bisa lupain Ibumu Ta," lagi-lagi Bapak menangis. Tangisannya kali ini berbeda tapinya. Setidaknya Bapak tidak menangis sendirian lagi di kamarnya.
Ku ambil kertas dan bolpoin yang terletak di meja belajarku. Ku tuliskan sesuatu yang ingin aku tanyakan pada Bapak.
Bapak mengambil kertas itu dan membacanya, "Kenapa Bapak masih nunggu Ibu?"
Suara Bapak sempat tercekat saat membacanya. Mungkin aku menanyakan sutau yang salah.
Bapak kembali memelukku hangat. Kemudian duduk di sampingku. Ia berkata "Bapak akan selalu nunggu Ibumu, Ita. Janitra pasti akan kembali. Semua yang terbang pasti akan mendarat dan semua yang berlayar pasti akan menepi Ita. Bapak yakin Ibumu pasti kembali. Entah sendirinya atau harus kita jemput bersama."
Akhirnya aku tahu mengapa Bapak selalu menunggu Ibu. Mengapa juga ia berikan nama itu, Janitra, kepadaku. Bapak sangat yakin Ibu pasti kembali. Mungkin keyakinan itu pula yang nantinya akan membawa Ibu kembali bersama kami di sini.

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS